Belajar kepada Al-Fatih sang Pemuda Hebat

0
1391
Ilustrasi diambil dari laduni.id

Oleh: Bobi Puji Purwanto*
KLIKMU.CO – Bicara pemuda, sama halnya kita berbicara masa depan. Ya, kondisi jangka panjang yang menggambarkan hal produktif serta lebih baik. Kita masih ingat perkataan Bung Karno? Tentu. “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. Hampir setiap diskusi kepemudaan, kalimat itu selalu dipakai salah satu refrensi. Saya sering jumpai itu ketika ikut berbagi kajian organisasi. Fantastis. Kalimat yang menggetarkan dunia serta isinya. Hehe.

Pertanyaannya sekarang, apa yang sesungguhnya menarik dengan pemuda?

Hanya dengan 10 pemuda, kok bisa dunia akan diguncangkan ya? Padahal dunia ini besar dan luas. Saya yakin, pasti ada kekuatan atau keistimewaan besar dalam diri pemuda. Apa itu? Ya, pemuda ialah sosok yang mempunyai semangat besar serta bersungguh-sungguh (all out). Ibarat darah, ia begitu segar, merah, dan berkualitas. Bukankah hal itu sangat ampuh apabila dibuat untuk membangun dan mengembangkan masa depan? Tentu. Masa depan akan optimal jika para pemuda dilibatkan dalam membangun dan mengembangkan masa depan itu. Tidak ada sesuatu yang baik jika cara membangunnya dengan pesimisme. Pasti dengan optimisme. Dan itu ada pada diri pemuda.

Saya punya cerita tokoh pemuda yang hebat. Saya dapatkan kisah ini dalam buku best seller. Karya Jamil Azzaini. Judulnya “ON” move yourself. Bagaimana sosok pemuda energik mampu menaklukkan negeri besar dengan kekuatan benteng yang tak pernah dikalahkan. Masya Allah. Baiklah. Kita belajar bersama-sama dari panglima perang muslim Muhammad Al-Fatih. Pemuda yang memiliki semangat besar dalam visi ke depan. Patut kita renungkan.

#Bacalah Kisah Al-Fatih berikut ini;

Kisah ini bermula pada zaman Rosulullah SAW. Saat perang Al-Ahzab atau perang khandaq. Bayangkan, saat itu pasukan kaum muslimin yang berjumlah 10 ribu akan diserang oleh gabungan tentara kaum Quraisy, Yahudi, dan Nasrani yang jumlahnya mencapai 100 ribu orang. Luar biasa. Tujuan utama kaum muslimin dalam perang ini ialah bagaimana menyelamatkan kota Madinah. Kemudian, para sahabat berkumpul serta bermusyawarah untuk mencari strategi memenangkan peperangan. Coba, kalau dihitung dari kuantitas, berarti 1 orang muslim berhadapan dengan 10 tentara musuh. Jika hanya menggunakan peralatan perang misalnya pedang dan tombak, tentu bisa kalah. Olehnya, maka disusunlah strategi jitu untuk mengatasi ini.

Ada sahabat bernama Salman Al-Farisi. Salman mengusulkan strategi agar penyerang tak bisa masuk kota Madinah. Apa itu? Strategi itu ialah dengan meminta pasukan kaum muslimin untuk menggali parit (khandaq) sebagai jebakan. Panjang parit itu 8 kilometer, lebarnya 5 kilometer. Serta dalam parit itu mencapai 3 meter. Sehingga kuda musuh yang terperangkap akan kesulitan keluar bahkan tidak akan bisa naik lagi. Coba kita imajinasikan, betapa luar biasanya kaum muslimin. Menggali parit di atas tanah dengan penuh bebatuan yang keras dan begitu cadas. Luar biasa.

Lalu, dalam proses penggalian parit-parit tersebut, secara tiba-tiba ada salah satu sahabat yang datang kepada baginda Rosulullah SAW. Apa yang dikatakan sahabat itu. Ia bertanya, ” ya Rosulullah, kota mana yang akan kita taklukkan dahulu, Konstatinopel atau Roma?”. Rosulullah menjawab, “kota yang dipimpin oleh Heraclius (Roma). Luar biasa.

Saya berpikir, ini dalam kondisi bekerja keras di padang pasir yang panas lho. Tapi para pasukan kaum muslimin begitu semangat dalam berjihad di jalan Allah. Bukannya meraka pesimis dengan bertanya hal-hal yang berhubungan dengan kuantitas pasukan, tapi mereka justru menanyakan kota mana yang harus ditaklukan terlebih dahulu. Sungguh mengagumkan. Ini namanya percaya diri yang besar. Dan harus kita contoh.

Sebagai leader hebat, Rosulullah kemudian membuat statemen berupa visi jangka panjang yang dituangkan dalam sebuah hadist. Apa itu, “kalian pasti akan membebaskan Konstatinopel. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”

Sejak saat itu, secara turun-temurun, para sahabat antusias berlomba-lomba ingin mendapat sebutan sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan. Dan waktu terus berjalan, hingga 800 tahun berlalu, lahirlah seorang anak bernama Muhammad Al-Fatih. Ayahnya bernama Sultan Murad II.

Kemudian, ayahnya meminta Syaikh Aaq Syamsudin Al-Wali untuk mengajarkan berbagai disiplin ilmu kepada anaknya Al-Fatih. Syaikh Syamsudin adalah keturunan Abu Bakar As-Sidiq. Setiap pagi hari, Al-Fatih kecil sering diajak jalan-jalan dan melihat tembok benteng Konstatinopel. Tembok itu sangat kokoh. Jika dilihat dari kejauhan, tinggi tembok itu mencapai 18 meter. Apabila masuk kesana, tentu sangatlah susah. Konstatinopel dikelilingi oleh benteng berlapis 3. Membentang sepanjang kota sehingga akan menyulitkan pasukan manapun untuk masuk. Apalagi menaklukkannya.

Di samping kanan dan kiri kota itu diapit oleh lautan, dan pada bagian lain berdiri tegak benteng dengan tinggi 18 meter itu. Pada lapis pertama, ada pembatas sungai yang didalamnya terdapat buaya-buaya besar kelaparan. Pada lapis kedua, ada pasukan panah yang berjumlah ribuan dengan kesiapan untuk menyerang. Dan setelahnya, ada benteng setinggi 18 meter. Selama berabad-abad, Konstatinopel tidak pernah bisa ditaklukan. Luar biasa.

Pada suatu ketika, sang guru Syaikh Syamsudin berkata pada Al-Fatih, “kamu tau itu apa? Itu tembok atau benteng Konstatinopel. Dan taukah engkau bagaimana janji Rosulullah? Janjinya adalah, kota itu akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin. Dan pasukan yang berada di bawah komandonya ialah sebaik-baik pasukan. Saya yakin, kelak anak dan cucumu akan bisa menaklukkan Konstatinopel. Tapi, saya lebih senang jika kamu yang menaklukkannya, Nak.”

Kemudian, ia Muhammad Al-Fatih menjawab, “iya, saya akan menaklukkan Konstatinopel. Karena tujuan itu, saya ingin memantaskan diri”.

Luar biasa. Akhirnya Al-Fatih segera melakukannya. Dan apa yang terjadi, usia 8 tahun ia sudah mampu menghafal Al-Qur’an kita suci ummat Islam. Ia juga tidak pernah meninggalkan sholat sunnah Rawatib. Ia tidak pernah meninggalkan sholat Tahajud sama sekali. Masya Allah. Sekarang kita lihat diri kita, sampai mana kedekatan kita dengan Allah. Al-Fatih paham betul, bahwa untuk menjadi pemimpin dengan sebaik-baiknya, maka ia harus dekat dengan Allah SWT.

Selain ketakwaannya kepada Allah, ia juga sangat rutin dan optimis dalam mempelajari strategi perang. Sehingga ia dikenal sangat jenius dalam hal itu. Mahir dalam berkuda, dan sangat fasih berbicara dalam 7 bahasa. Bayangkan. Bahasa itu meliputi Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Parsi, serta Ibrani.

Hari demi hari berjalan, hingga saatnya ia menganjak dewasa. Pada usia yang masih tergolong belia, Al-Fatih mengerahkan pasukan dan bersiap menghadapi Kota Konstatinopel yang besar dan kuat itu. Lalu, bagaimana langkah awal Al-Fatih agar supaya mampu melewati laut serta benteng yang tingginya 18 meter dan mengalahkan pasukan Konstatinopel ?

Pertanyaan bagus.

Dalam upaya pembebasan Konstatinopel, dengan bekal kemampuan berperang yang luar biasa serta didukung strategi yang jitu, sebagai awal ia menggunakan cara perang biasa dulu. Ia bersama pasukannya membobol benteng dan menerobos lewat laut. Ia juga membuat semacam senjata yang begitu luar biasa. Senjata itu berupa meriam. Dan terbesar pada saat itu. Ada 70 kapal dan 20 galley yang diberangkatkan untuk menerobos Selat Golden Horn.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata, cara yang biasa tidak mempan untuk menaklukkan benteng terkuat di dunia saat itu. Pun meriam terbesar juga tak sanggup. Kapal-kapalnya pun juga tak mampu karena terhalan rantai besar yang membentang lautan. Bahkan, serangan dalam bawa tanah dengan menggali lubang juga gagal. Pasukan Al-Fatih pun menderita kerugian yang sangat besar.

Dari kegalalan ini, terlihatlah kehebatan Al-Fatih. Setelah berbagai cara dilakukan, Al-Fatih pun mengusulkan agar memindahkan kapal melewati perbukitan Galata untuk bisa memasuki titik terlemah Konstatinopel. Yakni Selat Golden Horn. Al-Fatih berseru, “Kalau begitu, tarik kapalnya melalui daratan, dan kita akan mendaki bukit karena orang Konstatinopel tidak akan berpikir kalau pasukan Muslim melewati bukit.”

Kemudian beberapa pasukan bertanya, “Mana mungkin kita bisa melewati bukit? Sedangkan jalannya sulit dilalui.”

Dengan semangat Al-Fatih menjawab, “Konstatinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan. Jadi, lakukanlah!”

Singkat cerita, akhirnya ide luar biasa dan aneh itu dijalankan. Semua kapal-kapal berjalan melewati perbukitan. Dasyat. Dan menjelang pagi, Konstatinopel mulai berjaga kembali. Namun, ketika Konstatinopel mulai berjaga, mereka semua terkejut dengan suara gemuruh. Ya, suara itu berasal dari serangan pasukan Al-Fatih yang berhasil sampai pada tujuannya. Teriak Allah hu Akbar bersautan. Benteng kokoh itu hancur lebur seperti abu. Masya Allah.

Dan sebelum menyerang, saat itu pasukan muslim mendapat perintah dari Al-Fatih untuk berdo’a sebanyak-banyaknya pada Allah. Mereka berpuasa. Ketika malam mereka sholat tahajud. Menjaga diri dari hal maksiat. Dan selalu bermunajat, meminta, memohon pertolongan Allah SWT. Masya Allah. Pada akhirnya, pasukan muslim menang atas Konstatinopel. Sebelum ashar, Al-Fatih dan pasukannya berhasil menginjakkan kaki di Konstatinopel.

Meskipun sudah menang, Al-Fatih tidak bersombong diri. Ia kemudian sujud syukur sambil membawa segenggam tanah di tangannya. Dan ia berkata, “Saya tidak lebih mulia daripada tanah ini dan saya akan kembali ke tanah ini juga.” Allah hu Akbar. Al-Fatih berhasil taklukkan Konstatinopel di umur 21 tahun. Visi besar Rosulullah sudah terpenuhi oleh anak muda dan pasukannya. Dan mereka adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan.

#Pelajaran Penting untuk Para Pemuda

Bersyukur, perjalanan demi perjalanan sudah kita baca. Perlahan-lahan tentunya. Apa yang bisa kita ambil dari kisah di atas? Ya, banyak sekali. Tetapi kali ini saya ingin sebutkan empat pelajaran yang perlu kita ambil dari Al-Fatih pemuda hebat itu. Insya Allah, keempat pelajaran itu sangat penting. Dan bisa kita buat bekal berproses menuju keberhasilan. Dan sangat bermanfaat juga ketika sudah berhasil. Insya Allah. Baiklah, sebagai berikut;

1. Visi Besar
Berangkat dari sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa siapa yang mampu menaklukkan Konstatinopel, maka pemimpin yang memimpin adalah sabaik-baik pemimpin. Dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan. Nah, kalimat Rosulullah di atas itu, sejak kecil ditanamkan dalam diri Al-Fatih oleh gurunya Syaikh Syamsuddin. Sehingga, hati dan fikiran Al-Fatih bergetar untuk mewujudkan itu. Masya Allah. Kita bisa melihat, 800 tahun lamanya, belum ada yang mampu menaklukkan Konstatinopel.

Jadi, Al-Fatih memiliki visi besar itu. Motivasi kuat yang tumbuh dari dalam diri dan lingkungannya. Sesuatu yang banyak orang belum mampu melakukannya, tapi dengan kekuatan visi besar, Al-Fatih bisa membuktikannya. Bahkan, Al-Fatih meraih kemenangan bersejarah tersebut pada umur 21 tahun. Bayangkan, di umur 21 tahun itu kita bagaimana? Luar biasa.

Oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita raih. Jika Allah mengizinkan atau berkehendak, maka insya Allah semua bisa terjadi. Teruslah bermimpi, bercita-cita, dan tetapkan tujuan. Tak perlu takut, malu, dan khawatir. Bismillah, jika itu positif, insya Allah, kita akan selalu mendapatkan pertolongan Allah.

2. Belajar Sungguh-sungguh
Kita perhatikan, setelah Al-Fatih menetapkan visinya untuk merebut Konstatinopel dan menjadikan ummat Islam semakin berjaya, maka Al-Fatih tidak diam saja. Al-Fatih kemudian ingin memantaskan diri. Artinya belajar. Visi yang besar itu harus diimbangi dengan kapasitas. Nah, cara memperbesar kapasitas diri adalah dengan belajar. Tentu dengan sungguh-sungguh. Tidak bisa setengah-setengah. Atau bahkan sampai bermalas-malasan.

Bisa kita saksikan. Sejak umur 8 tahun, Al-Fatih sudah mampu hafal Al-Qur’an. Al-Fatih juga tidak pernah meninggalkan sholat Rawatib. Bahkan, sholat Tahajud pun dia tak pernah lupa mengerjakannya. Itu dari sisi ketaqwaannya kepada Allah. Dia juga belajar strategi perang. Dia mahir berkuda. Dan dia ahli komunikasi. Artinya, dia mampu menguasai 7 bahasa. Apa saja? Arab, Yunani, Latin, Turki, Serbia, Parsi, dan Ibrani. Luar biasa bukan? Ya, tentu.

Al-Fatih sadar, bahwa untuk menaklukkan Konstatinopel itu bukan hal mudah. Menjadi pemimpin dengan sebaik-baik pemimpin, dan pasukan dengan sebaik-baik pasukan itu juga bukan sembarangan. Oleh sebab itu, perlu kerja keras, perlu kapasitas, dan perlu bekal yang besar. Nah, ini bisa kita contoh. Kalau kita hanya bermimpi saja, apalagi mimpi itu besar, lalu kita tak mau belajar demi mendapatkan kapasitas, peralatan, dan perlengkapan untuk mencapainya, maka sampai kapan pun visi besar itu sulit tercapai.

3. Pantang Menyerah
Ketika terompet perang dimulai, Al-Fatih dan pasukannya mulai menyusun strategi. Mencari cara bagaimana Al-Fatih dan pasukannya bisa melewati laut dan menembus benteng Konstatinopel terkuat di dunia saat itu. Dia membawa 70 kapal dan 20 kapal dengan persenjataan lengkap. Bahkan, dia membuat meriam terbesar pada saat itu. Namun, semua taktik yang biasa dan umum gagal total.

Ya, dia belum bisa membobol benteng besar itu dengan meriamnya. Kapal-kapalnya juga belum mampu melewati lautan karena terhalang rantai besar yang membentang lautan. Dia dan pasukannya juga menggali terowongan, tapi juga gagal. Luar biasa. Bukan Al-Fatih jika menyerah. Dia terus berupaya mencari cara. Sampai akhirnya, strategi jitunya keluar. Dia memerintahkan pasukannya untuk membawa peralatan dan perlengkapan perang dengan melewati perbukitan, dan cara itu berhasil.

Baiklah, berapa kali Al-Fatih gagal? Berkali-kali. Tapi dia adalah pemuda yang hebat. Pemuda dengan kekuatan semangat yang besar. Pantang menyerah. Gagal lalu bangkit, dan seterusnya. Bukankah pemuda itu seharusnya begitu? Ya. Kegagalan jangan pernah dijadikan alasan untuk menyerah. Selama kita masih bisa bernafas, maka jadikanlah kegagalan sebagai pelajaran besar agar tenaga semakin kuat. Insya Allah, itu hal yang sangat luar biasa.

4. Rendah Hati
Setelah Al-Fatih dan pasukan Muslim mendapat kemenangan, mereka segera menuju ke dalam benteng. Dan sebelum datangnya ashar, kaki mereka semua sudah berada di dalam benteng. Masya Allah. Suara takbir berkumandang dasyat. Semuanya saling bersyukur kepada Sang Pemberi Kemenangan, Allah SWT.

Kemudian, Al-Fatih sang pemimpin segera mengambil posisi untuk bersujud kepada Allah. Sebagai wujud syukur atas kemenangan yang diberikan Allah kepada dia dan pasukannya. Ketika bersujud, dia juga membawa segenggam tanah, dan dia berkata, “Saya tidak lebih mulia daripada tanah ini dan saya akan kembali ke tanah ini juga.” Masya Allah.

Apa itu artinya? Banyak orang yang sudah berhasil, tapi keberhasilannya itu tidak bertahan lama. Saya sering menjumpainya. Lalu penyebabnya apa? Ya, penyebabnya ialah kesombongan. Congkak. Mereka beranggapan bahwa apa yang didapatkan adalah karena usaha kerasnya sendiri. Sehingga mereka lupa dengan Sang Pemilik dan Pemberi Sejati, Allah SWT. Astaghfirullah.

Al-Fatih memberikan contoh kepada kita, khususnya pemuda, agar selalu bersikap rendah hati. Bersikap lembut. Tidak boleh sombong. Apa yang kita dapatkan, ya keberhasilan, itu semua dari Allah SWT. Dan akan kembali juga kepada-Nya. Oleh sebab itu, sikap rendah hati adalah bentuk syukur kepada Allah dan salah satu cara kita untuk mempertahankan keberhasilan. Insya Allah.

*) Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PC Pemuda Muhammadiyah Wonokromo, Kota Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini