Demokrasi – Musyawarah Dan Muhammadiyah

0
1566

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (kemasyarakatan). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya” (QS. Ali Imron: 159)

 

Tidak ada Demokrasi tanpa Musyawarah. Juga tidak ada Musyawarah tanpa Muhammadiyah. Musyawarah dan Muhammadiyah terkadang menciptakan suasana gaduh, tegang dan kadang konflik.

Itulah kira-kira kesimpulan awal penulis ketika mengikuti sebuah acara Musyawarah setingkat Kecamatan yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat (ORMAS) keagamaan di lingkungan Muhammadiyah di luar kota Surabaya beberapa bulan yang lalu. Pertanyaannya adalah seheboh itukah suasana dalam acara musyawarah? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, berikut penulis uraikan sedikit kaitan antara ketiga komponen di atas, yaitu Demokrasi, Musyawarah dan Muhammadiyah.

Secara sederhana ketiga komponen di atas dapat dilukiskan seperti segitiga sama kaki, di mana setiap kaki saling bertemu. Itu menandakan bahwa ketiadaan satu komponen akan meniadakan kedua komponen lainnya. Singkatnya masing-masing komponen saling mempengaruhi. Sekedar contoh misalnya ketika Panitia Pemilih (Panlih) merekrut calon pimpinan di sebuah organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah tentu mereka (Panlih) tidak semena-mena menempatkan nama-nama tertentu yang dianggap menguntungkan baik untuk kelompoknya maupun untuk kelompok lain. Melainkan semuanya harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam pertemuan-pertemuan internal Panlih dengan mengacu pada sebuah aturan yang disebut Tata Tertib Pemilihan Calon yang dibuat oleh dan berlaku di organisasi tersebut. Bila yang terjadi sebaliknya, artinya tidak sesuai dengan mekanisme yang ada maka calon yang diusulkan dianggap tidak sah.

Itulah gambaran singkat yang menjelaskan bagaimana hubungan antara Demokrasi, Musyawarah dan Muhammadiyah. Sekarang kembali ke pertanyaan semula yaitu benarkah Musyawarah dan Muhammadiyah berpotensi menciptakan suasana gaduh, tegang dan kadang konflik? Jawabnya tidak lain adalah itulah sebuah konsekuensi logis dari sebuah interaksi yang dinamis. Lebih jelasnya penulis uraikan sedikit tentang ketiga kondisi di atas yaitu gaduh, tegang dan konflik.

 

Gaduh

Suasana gaduh (ramai) dapat kita lihat saat sidang-sidang berlangsung misalnya sidang pleno maupun komisi. Bila pimpinan sidang tidak mampu memimpin sidang alias tidak menguasai materi sidang tentu dapat dipastikan ia (pimpinan) sidang akan dihujani interupsi. Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus tanpa ada yang mengendalikan tidak menutup kemungkinan arena sidang akan berubah menjadi sebuah arena pertengkaran mulut bahkan fisik. Ini tidak saja memalukan akan tetapi memperlihatkan kebodohan kita di depan umum. Kalau sudah demikian pupuslah harapan kita untuk mensukseskan sebuah suksesi yaitu pergantian pengurus lama ke pengurus baru beserta program-programnya.

 

Tegang

Suasana tegang mulai terasa saat mendekati pelaksanaan acara musyawarah digelar. Tidak saja panitia penyelenggara musyawarah, panitia pemilih (Panlih) pun ikut mengalami dan merasakannya. Misalnya ketika acara akan dimulai ternyata peserta musyawarah belum banyak yang datang. Belum lagi petugas yang ditunjuk memandu acara pembukaan berhalangan hadir. Ketegangan lain juga muncul saat perhitungan suara berlangsung. Semua mata tertuju pada satu titik yaitu sebuah kertas putih berisi daftar nama calon pimpinan beserta akumulasi jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon. Mereka (para peserta) saling menduga-duga siapa peraih suara terbanyak. Ketegangan semakin memuncak saat menunggu hasil rapat tim formatur yang menetapkan siapa ketua dari organisasi tersebut untuk periode berikutnya. Itu wajar. Karena di Muhammadiyah ada aturan yang tidak tertulis bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak tidak otomatis atau belum tentu menjadi ketua kecuali yang bersangkutan menyatakan sanggup menjalankan amanah tersebut. Karena menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah tidak peduli di level mana ia (sang Ketua) harus “berbaju” rangkap artinya ia tidak saja pandai dalam urusan keorganisasian tapi juga piawai dalam urusan agama karena Muhammadiyah pada dasarnya adalah organisasi gerakan sosial dan moral.

 

Konflik

Kondisi ini bukan saja tidak mungkin akan terjadi manakala beberapa calon pimpinan, sejumlah pemilih dan Panlih saling main mata. Bila hal ini sampai terjadi konflik tidak bisa dihindari karena masing-masing kubu mengklaim jagonya (calon) yang paling layak menjadi orang nomor satu (Ketua) karena ia sudah banyak membantu panitia baik materi maupun non materi. Dengan kata lain musyawarah tersebut sudah dipolitisir sedemikian rupa oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab alias musyawarah tersebut sarat akan kepentingan-kepentingan di luar kepentingan organisasi itu sendiri yaitu Muhammadiyah.

Itulah kira-kira jawaban singkat dari penulis silahkan pembaca memaknai dan mengembangkan sendiri.

Oleh: Choirul Amin – Penulis, adalah pemerhati masalah pendidikan tinggal di Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini