Indonesia Resmi Mengalami Resesi, Apa Dampaknya bagi Masyarakat?

0
506
Ilustrasi Tribunnews

KLIKMU.CO – Indonesia resmi mengalami resesi. Selama dua kuartal, yakni II (April-Juni) dan III (Juli-September), capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia minus. Resesi adalah kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya secara berkelanjutan.

Kamis kemarin (5/11) Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal III terkontraksi -3,49 persen. Pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi juga minus -5,32 persen. Tahun 2020 pun menjadi resesi pertama Indonesia setelah krisis moneter 1998 ( -13,13).

“Meski ekonomi pada kuartal III tercatat minus, sejatinya realisasi tersebut membaik jika dibandingkan dengan raihan kuartal II. Itu terlihat pada beberapa indikator. Di antaranya, mayoritas lapangan usaha mulai merangkak tumbuh,” ujar Kepala BPS Suhariyanto seperti dikutip dari Jawa Pos.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa meskipun masih minus, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah bergerak positif. Tren positif itu, lanjut dia, terlihat dari adanya perbaikan pada kuartal III. Bila dihitung kuartal per kuartal, perekonomian Indonesia tumbuh 5,05 persen.

“Artinya, ada lompatan pada kuartal III. PDB kuartal III naik menjadi Rp 3.895 triliun. Kemudian, konsumsi rumah tangga naik menjadi 4,7 persen. Konsumsi pemerintah juga masih positif di angka 16,93 persen,” katanya masih dikutip dari Jawa Pos.

Dampak ke Masyarakat

Lantas, apa dampak resesi bagi masyarakat? Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan beberapa dampak yang bisa terjadi di masyarakat setelah Indonesia menderita resesi.

Pertama, kata dia, akan terjadi penurunan pendapatan bagi kelompok masyarakat menengah dan bawah. Hal ini dapat menimbulkan orang miskin baru.

“Selain itu, desa akan jadi tempat migrasi pengangguran dari kawasan industri ke daerah-daerah karena gelombang PHK massal,” ujar Bhima sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Kamis (5/11/2020).

Selanjutnya, kata Bhima, angkatan kerja baru makin sulit bersaing karena lowongan kerja menurun.
Dari sisi perusahaan, kalaupun melakukan rekrutmen, mereka akan memprioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman.

“Kemudian, masyarakat juga cenderung berhemat untuk membeli barang sekunder dan tersier. Fokus hanya pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan,” kata dia.

Dampak lainnya adalah meningkatnya konflik sosial di masyarakat karena ketimpangan semakin lebar. “Orang kaya bisa tetap bertahan selain karena aset masih cukup, juga karena digitalisasi. Sementara kelas menengah rentan miskin tidak semua dapat melakukan WFH, di saat yang bersamaan pendapatan menurun,” tandasnya. (AS/Diolah)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini