Kepergian Pendidik Bangsa yang Bersahaja

0
558
Haedar Nashir muda (kanan) bersama Abdul Malik Fadjar. (Foto milik penulis)

Oleh: Prof Dr Haedar Nashir MSi

Ketua umum PP Muhammadiyah

KLIKMU.CO

Baru satu hari ditinggal Prof Dr H Abdul Malik Fadjar, terasa ada ruang kosong di negeri ini. Demikian bagi kami di Muhammadiyah. Yakni tokoh yang sepenuh hidupnya dihabiskan menjadi guru di dunia pendidikan sekaligus role-model pendidik bangsa yang bersahaja. Di pikirannya hanya satu perhatian utama bagaimana terlibat aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan karya nyata, bukan retorika kata.

Prof Malik Fadjar menghabiskan waktu mudanya menjadi guru di Sumbawa dengan segala suka-duka. Kala itu sosok yang lain Ahmad Syafii Maarif juga menjadi guru di Lombok, sama-sama di Nusa Tenggara Barat. Menjadi guru dalam makna sesungguhnya, sebagai pendidik dalam keadaan serba terbatas. Pengalaman bertungkus lumus inilah yang menjadi modal berharga dirinya sebagai pendidik di dunia perguruan tinggi dan mengantarkannya di kemudian hari menjadi Menteri Pendidikan Nasional, selain Menteri Agama, dan Menko Kesra di negeri ini. Dalam posisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden pun yang dibidanginya ialah pendidikan.

Ketika menjadi menteri itulah banyak terobosan yang dilakukan untuk perbaikan dunia pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama. Prof Malik melakukan reformasi regulasi dan birokrasi, yang menjadikan lembaga pendidikan menjadi lebih mudah bertumbuh-kembang. Lulusan pondok pesantren dipermudah penyetaraannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pengiriman anak-anak Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri digencarkan. Pendek kata, dia lakukan gebrakan menerobos sangkar besi birokrasi yang selama itu menjadi hantu kemajuan pendidikan Indonesia. Kiai tanpa gelar akademik pun diizinkan memimpin perguruan tinggi. Sebuah kebijakan yang nekat dan sedikit “gila”.

Di Muhammadiyah tidak terbilang jejak emasnya membangun pendidikan yang unggul. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) salah satu bukti nyata. Di eranya UMM menjadi satu-satunya kampus swasta milik umat Islam yang unggul dan membanggakan, menerobos hegemoni Perguruan Tinggi Negeri. Setelah purna, perhatiannya tidak pernah luruh untuk memajukan pendidikan. Sering mengajak penulis pergi ke daerah terjauh seperti untuk membenahi lembaga pendidikan yang tertinggal.

Kini sosok pendidik itu telah pergi untuk selamanya. Dipanggil Allah hari Senin 7 September 2020 pukul 19.00 wib. Di usia senja jiwa pendidiknya tetap kuat dalam menyikapi kondisi bangsa. Meski sering memberi catatan kritis tentang kehidupan kebangsaan yang dianggapnya bermasalah, Pak Malik selalu menunjukkan sikap elegan yang positif dan konstruktif. Sikap kritisnya tidak pernah bersifat personal dan apriori, selalu menawarkan solusi dan opsi. Dia tidak suka provokasi. “Ingat lho, ini urusan bangsa yang besar, jangan berjalan di lorong sempit”, berkali-kali beliau berpesan. Mungkin generasi muda milenial belum banyak yang tahu, kediaman Prof Malik Fadjar itu menjadi salah satu markas para tokoh reformasi yang membuat Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya setelah berkuasa 32 tahun.

Pak Malik itu tokoh besar, tapi bersahaja dan tidak suka menonjolkan diri. Dia tidak gemar publikasi diri. Apalagi berpanggung-ria. Kalau berada di suatu acara, sering duduk di belakang atau menepi. Dia memilih tidak banyak berkata yang besar-besar, lebih banyak dia kerjakan. “Jangan boros kata,” sering terlontar dari tokoh ini, mengingatkan kami yang muda di Muhammadiyah. Satu dua kali beliau mengeluarkan kata-kata kiasan dengan nada rendah, “Jangan kayak burung merak”. Maksudnya, tidak perlu memamerkan apa yang kita miliki untuk menampakkan hebat di mata orang banyak, tapi tidak nyata. Tidak suka dunia mercusuar. Tokoh ini sangat menghargai orang berbuat nyata yang bermanfaat bagi kehidupan, meski diawali dengan langkah kecil.

Kebesaran pikiran dan karyanya tidak membuat Pak Malik berada di singgasana yang gemerlap dan adigung-adiguna. Sosok ini bersahaja sikap hidupnya. Penulis sering ke rumahnya di Tebet, suka melayani sendiri. Banyak hal dilakukan dengan tangannya, tidak mau merepotkan orang lain. Suatu kali di bandara Bau-Bau, Buton. Sambil menunggu chek-in yang padat, karena tidak ada tempat duduk, dia duduk di pinggiran tanpa kursi. Rombongan pengantar jadi rikuh, saya temani duduk, rombongan pengantar jadi duduk bersama tanpa kursi.

Meski sikapnya sederhana beliau tegas, tangguh, dan petarung dalam memperjuangkan kemajuan, tapi bijak dan tidak merasa benar sendiri. Apalagi sampai mencerca pihak lain yang berbeda dengan dirinya, paling hanya mengelengkan kepala. “Hidup harus luwes dan luas”, pesannya. Meski kita kuat pendirian, belajarlah berbagi dan berdialog, jangan memaksakan diri. Cakrawala berpikir dan bertindak juga harus luas melintasi, jangan picik dan merasa paling benar dan bersih sendiri. Kita hidup bersama orang lain.

Mungkin karena kesahajaannya dan lebih banyak bergerak di dunia pendidikan, Pak Malik Fadjar tidak mengharu-biru panggung politik nasional. Berita meninggalnya tokoh pendidikan yang besar jasanya ini, bahkan tidak terlalu banyak diliput media elektronik secara luas dan langsung. Memang diupacarakan secara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tetapi tetap bersahaja. Boleh jadi inilah jalan konsisten hidup sang tokoh bersahaja, Abdul Malik Fajar. Sepanjang hayatnya dijalani apa adanya tanpa simulakra media. Lagian, untuk apa eluk massa dan gelora media bila tak menghadirkan makna.

Selamat jalan Pak Malik nan bersahaja. Engkau suri teladan kami dalam jejak hidup apa adanya tapi penuh makna. Bekerja dalam sunyi untuk negeri yang memberi solusi dan bukti sarat arti. Tokoh ini sepanjang hayatnya tidak suka berumah di atas fatamorgana. Garis hidupnya ditakdirkan sebagai pendidik bangsa bersahaja, dengan jejak gemerlap nan nyata dan luar biasa. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini