Kisah Suram di Pagi Hari Raya

0
483

Oleh: Dr Pradana Boy ZTF, asisten rektor Universitas Muhammadiyah Malang

KLIKMU.CO

Pada Idul Fitri kali ini, saya bertugas sebagai khatib di Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Karena jarak rumah dengan lokasi shalat yang hanya sekitar 1 kilometer, saya berangkat 45 menit sebelum shalat dijadwalkan untuk mulai. Saya mengemudi mobil dengan laju sedang. Setelah beberapa saat, tak seberapa jauh di hadapan kami, segera terlihat kerumunan.

“Waduh,” secara spontan saya berteriak sedang. Demi mendapati kerumunan itu, rasa khawatir mulai menyelinap dalam batin. Jangan-jangan ada penutupan jalan.

Namun, rasa khawatir itu tertepis. Memang jalan itu digunakan untuk shalat, dan jamaah perempuan yang mengenakan aneka warna mukena sudah pula terlihat mengisi sebagian badan jalan. Panitia dengan simpatik mempersilahkan kami berlalu, karena memang hanya separuh jalan yang digunakan. Lega!

Rupanya kelegaan itu harus segera berakhir. Di sebuah ruas jalan yang lengang sebuah mobil berjalan di depan kami. Tiba-tiba mobil itu menepi dan seperti hendak memutar balik. Saya masih belum sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Tak seberapa lama, segera saya menemukan apa yang sedang berlangsung.

Dua orang laki-laki dengan wajah cuek, mengangkat tangan mengisyaratkan bahwa kami harus berputar arah, karena jalan ditutup untuk shalat Idul Fitri. Setengah berteriak, salah satu dari dua pria itu menghalau kami. Tapi ia tak menyebut alternatif, ke arah mana kami harus berputar. Padahal dari lokasi itu hanya sekitar 200 meter lagi saya akan mencapai tujuan.

Tak ada pilihan lain. Saya banting setir, dengan harapan ada jalan lain yang masih terbuka. Namun, sampai di satu titik, setelah satu kali berbelok dan satu kali memutar arah, sebuah bangku panjang membentang menggagahi jalan. Seorang pria muda dengan muka tanpa ekspresi menyuruh kami berbalik arah. “Jalan ditutup,” ucapnya dengan muka dingin. “Terus saya bisa lewat mana?” tanya saya. Pria muda itu hanya menggeleng. Lagi-lagi, kami dibiarkan dalam kebingungan. Hanya diminta balik, tanpa ada informasi jalan mana yang bisa kami lalui, sebagai gantinya.

Beruntung, ada tanah sedikit lapang yang bisa saya gunakan untuk memutar mobil. Setelah berhasil memutar, saya kemudikan mobil lurus saja, dengan harapan ada jalan keluar. Namun hal yang sama juga terjadi. Kali ini bahkan lebih parah, karena tidak ada ruang untuk memutar mobil. Maka, mobil harus berjalan mundur sekitar 300 meter untuk sampai ke pertigaan yang memungkinkan mobil berputar. Saya mulai gusar. Jarum jam terus bergerak, dan setiap gerakannya menambah kegusaran hati.

Di saat itu pula, telepon genggam saya berdering. Panitia di lokasi sudah resah, dan menelepon. Para pimpinan kampus sudah di lokasi, dan tak lama lagi shalat segera dimulai. Masih ada satu harapan jalan. Maka, saat mobil berhasil memutar, saya injak gas agak kencang. Setelah dua kali berbelok, pupus sudah harapan.

Jalan terakhir yang saya perkirakan tidak ditutup itu ternyata setali tiga uang kondisinya. Jika tak memiliki tugas sebagai khatib, tentu saya akan mengikhlaskan diri membaur shalat berjamaah di salah satu tempat shalat yang saya lalui tadi… Tetapi ini saya memiliki tugas sebagai khatib. Alangkah paniknya panitia jika saya benar-benar gagal datang.

Dalam himpitan waktu yang semakin sempit, saya ambil keputusan. Saya kembali pulang untuk mengembalikan mobil, dan saya akan menuju lokasi shalat dengan bersepeda motor. Karena sepeda motor tidak mungkin mengangkut semua anggota keluarga, terpaksa anak-anak dan istri saya harus tinggal di rumah dan gagal shalat jamaah Idul Fitri. Saya memahami kemasygulan hati mereka. Sudah gagal mudik, gagal pula shalat Idul Fitri. Namun, tidak ada pilihan.

Dengan sepeda motor, saya kembali berpacu dengan waktu. Aneka jalan tikus saya lalui. Mujurnya, di tengah jalan, saya berpapasan dengan panitia yang memang hendak menjemput saya dengan sepeda motor. Ini sebuah keberuntungan. Karena, rupanya ada jalan tikus yang tak saya ketahui, dan untuk ke lokasi shalat itu dalam kondisi semua jalan utama ditutup (sekali lagi ditutup, seperti yang saya alami saat ini), itulah satu-satunya jalan tikus menuju lokasi shalat.

Pada akhirnya saya berhasil mencapai lokasi. Jamaah sudah membeludak. Tanah lapang penuh dengan jamaah meskipun dalam jarak yang cukup berjauhan. Sebagian menunjukkan muka resah menunggu shalat dimulai. Dengan nafas terengah-engah saya menuju barisan paling depan dengan melewati jamaah.

Ada rasa malu karena terlambat. Ada rasa berdosa karena telah menyebabkan kegusaran bagi panitia. Ada rasa sedih lantaran meninggalkan anak-istri di rumah dan mengubur bayangan mereka shalat idul fitri serta mengabadikan momen itu dengan latar Kampus 3 Universitas Muhammadiyah Malang nan elok. Namun, inilah kenyataan. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih.

Tugas akhirnya tertunaikan. Singkat saja khutbah saya. Di antara materi yang saya sampaikan adalah tentang makna puasa Ramadan bagi peneguhan dan penguatan solidaritas sosial. Bahwa ibadah ritual harus memiliki efek bagi kehidupan sosial. Keduanya bergandengan. Tak terpisahkan.

Turun dari mimbar saya tersenyum kecut, karena dalam perjalanan berliku menuju khutbah ini tadi, saya telah mengalami dampak langsung terpisahnya dimensi ritual keagamaan dari pertimbangan sosial. Ibadah sangat baik dan merupakan aspek fundamental agama. Tetapi apakah itu harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan umum dan terbiarkan tanpa solusi? Padahal agama adalah solusi bagi kehidupan. Namun, di tangan mereka yang terlampau asyik dibuai ritual, agama akan berhenti pada level ritual dan simbol, dan gagal menghadirkan solusi. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini