Kristologi #26: Pengaruh Hellenisitik Terhadap Doktrin Trinitas

1
3253
Ilustrasi diambil dari hidupkatolik.com

KLIKMU.CO

Oleh Abu Azmi*)
Silaturrahim @0857-8059-3496

Bapa-bapa Gereja telah berulang kali memformulasikan Tuhan Trinitas, meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan dalam usaha untuk memahami dan memberikan penjelasan logis tentang Trinitas. Tertullian adalah orang pertama yang menggunakan istilah tersebut, dan yang memformulasikannya. Akan tetapi, formulasinya tersebut dianggap memiliki kekurangan dikarenakan ia telah memposisikan Anak (Yesus) dibawah Bapa (Allah). Origen melangkah lebih jauh dengan mengajarkan secara eksplisit bahwa Anak berada dalam posisi di bawah Bapa dalam esensi-Nya, dan Roh Kudus menurutnya, berada di bawah Anak.

Dengan adanya pandangan Origen di atas, sebenarnya telah menjadikan Allah memiliki tingkatan, yang dari setiap tingkatan tersebut memiliki peran yang berbeda-beda dalam setiap tingkatannya. Dan Origen yang hidup sezaman dengan Plotinus dan memiliki guru yang sama, sebelumnya telah mendapatkan pengajaran bahwa Pribadi pertama lebih unggul dari yang kedua, dan pribadi yang kedua lebih unggul dari pribadi yang ketiga. Yang dalam hal ini, tentunya ia sudah sejalan dengan filsafat Plotinus. Selain itu, Origen pun telah menyerap pemikiran Plotinus lainnya dalam hal ketransendenanTuhan. Transenden adalah suatu konsep yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di luar alam, yang tidak dapat dijangkau oleh akal.

Karena Tuhan transenden itulah, kita tidak mungkin mampu mengetahui esensi Tuhan, dan kita hanya dapat mengkaji Tuhan melalui karya-Nya. Awalnya, Gereja pada zamannya telah menghormati Origen sebagai Bapa Gereja. Namun sekitar 399 M, Gereja telah menyadari bahwa ajarannya tersebut ternyata tidak sesuai dengan Injil, sehingga pada akhirnya secara resmi ajarannya ditolak dan ia pun dianggap sesat.

Pandangannya lain tentang Trinitas telah dikemukakan dalam karya Augustinus, The Trinity, dan diabadikan dalam pengakuan iman Athanasius. Dalam pengakuan iman Athanasius dinyatakan bahwa, “Namun ke-Allah-an Bapa, Anak, dan Roh Kudus semuanya adalah satu, kemuliannya sama, keagungannya pun sama kekalnya. Sama seperti Bapa, demikian pula Anak, dan seperti itu pula Roh Kudus. ”Jika dengan adanya kesetaraan terhadap setiap pribadi Trinitas dianggap sebagai suatu cara untuk mempertahankan keilahian Anak, justru hal tersebut telah menghasilkan suatu pertanyaan yang cukup krusial. Jika sifat keilahian dilekatkan kepada setiap pribadi Trinitas, tentunya Bapa adalah pencipta, Anak adalah pencipta, dan Roh Kudus pun adalah pencipta, namun mengapa ketiganya harus mengalami perbedaan dalam tingkatannya di saat semuanya sama sebagai pencipta ?

Dengan adanya perbedaan tingkatan pada anggota Trinitas tersebut, justru telah menjadi pusat perhatian bagi beberapa teolog kontemporer yang menyimpulkan bahwa tidak ada alas an sama sekali untuk mempertahankan ajaran Trinitas, kecuali jika pribadi-pribadi trinitas tersebut dibedakan satu sama lain oleh perbedaan-perbedaan dalam hal pengaturan dan dalam hal karya. Dan menurut H. Berkhof, bahwa pemikiran dari Augustinus tersebut sebenarnya telah terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme.

Dalam merasionalisasikan Tuhan Trinitas, Kristen telah berusaha membuat pelbagai analogi, namun tetap saja hal itu tidak dapat menjelaskan dengan sempurna. Misalnya, analogi yang dibuat oleh Augustinus dengan menggunakan kesatuan psikologis dari intelektual, perasaan, dan kehendak; kesatuan logis dari tesis, anti tesis, dan sintetis yang ditunjukkan oleh Hegel; dan bahkan sampai ada yang menggunakan kesatuan rokok filter dari tembakau, kertas dan busa filter. Beberapa Bapa Gereja abad mula-mula telah menyusun doktrin Allah berada di bawah pengaruh filsafat Yunani, dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Seeberg, “mereka tidaklah berkembangs ampai lebih dari sekedar konsep abstrak bahwa jati diri Ilahi adalah suatu jati diri (eksistensi) yang mutlak tanpa atribut.”

Dalam menyatakan keberagaman Allah, Kristen selalu menggunakan istilah persona yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pribadi. Istilah Persona yang padanannya diyakini dalam bahasa Yunani adalah prosopon serta istilah tambahan Yunani hypostatis, telah digunakan untuk mengidentifikasikan atas ketigaan dari trinitas itu sendiri. Bapa, Anak, dan Roh Kudus dikatakan sebagai tiga hypostatis atau tiga pribadi di dalam satu hakikat atau ousia. Persona dan prosopon, aslinya adalah sebutan untuk topeng yang dipakai oleh para actor dalam sebuah drama. Karena adanya pergeseran makna, hal tersebut kemudian merujuk pada peran atau karakter yang akan dimainkan.

Dari adanya bukti historis di atas, tentunya Kristen tidak bias mengelak bahwa doktrin Trinitas pada awal nya telah diwarnai oleh dunia helenistik (Yunani), baik itu yang berkaitan dengan konsep ketuhanan maupun tentang istilah pribadi yang digunakan pada setiap tingkatan Trinitas. Jika kenyataannya seperti itu, apakah kita sebagai Muslim masih berkeyakinan bahwa ajaran Kristen adalah agama Samawi? [*]

*) Abu Azmi adalah Muallaf, Kristolog, dan Pegiat Abdullah Wasi’an Foundation (AWF)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini