Oleh: Taufiqur Rahman
(Wakil Rektor 2 Universitas Aisyiyah Yogyakarta dan Dosen Ilmu Komunikasi UMY)
KLIKMU.CO
Wacana revolusi industri 4.0 atau revolusi industri keempat pertamakali diperkenalkan di Jerman pada tahun 2011 untuk menandai perkembangan terbaru yang cukup signifikan di dunia industri. Revolusi industri pertama ditandai dengan penggunaan energi air dan uap untuk mekanisasi produksi. Revolusi kedua ditandai dengan penggunaan listrik untuk menghasilkan produksi masal. Revolusi ketiga ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dan perangkat elektronik untuk melakukan produksi secara otomatis. Revolusi keempat dikembangkan dari revolusi ketiga, yaitu revolusi digital yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Revolusi keempat ini ditandai dengan penggabungan teknologi yang semakin mengaburkan batas antara ruang fisik, digital dan biologis (Schwab, 2016).
Secara lebih sederhana, Kanselir Jerman Angela Merkel mengidentifikasi revolusi industri 4.0 sebagai transformasi komprehensif dari seluruh aspek produksi industri dengan menggabungkan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional (Davies, 2015). Revolusi ini membuat ketergantungan industri terhadap teknologi informasi dan komunikasi menjadi semakin tinggi. Kemampuan untuk menciptakan inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan seluruh proses bisnis korporasi menjadi kunci keberhasilan di era industri 4.0.
Dalam industri komunikasi, transformasi ini ditandai dengan meleburnya batas antara berbagai jenis media massa konvensional seperti koran, majalah, radio, televisi dan film, karena saat ini semuanya bisa hadir bersama-sama dalam satu ruang yang difasilitasi oleh teknologi internet. Fenomena ini mendorong lahirnya model baru dalam industri media yang dikenal dengan istilah era konvergensi media. Tapsell (2015) mendeskripsikan konvergensi media sebagai sebuah proses ketika teknologi mobile dan digital mendorong industri media menuju arah baru untuk melakukan integrasi, sinkronisasi dan konglomerasi.
Kehadiran internet juga melahirkan era komunikasi baru yang oleh Manuel Castells (2013) disebut sebagai era komunikasi massa individual (mass-self communication). Penyampaian informasi di internet dapat dikategorikan sebagai kegiatan komunikasi massa karena kegiatan ini berpotensi untuk menjangkau audiens yang luas secara global seperti saat kita mengunggah video di Youtube, atau menyampaikan pesan melalui mailing list atau group di media sosial. Pada saat yang sama, pesan yang kita sampaikan melalui internet dapat disebut sebagai komunikasi individu karena pesan itu kita buat sendiri, kita juga yang memilih tipe audiens seperti apa yang hendak dituju dan sebagai audiens kita juga dapat secara selektif memilih pesan yang akan kita akses. Kelahiran era baru komunikasi massa individual ini menghadirkan beberapa tantangan yang harus diantisipasi untuk membangun budaya komunikasi yang berkeadaban.
Euforia budaya partisipasi
Salah satu harapan dari hadirnya teknologi internet adalah kemampuannya untuk menyediakan sarana demokratis dalam mengekpresikan identitas individu ataupun identitas kolektif. Wajah demokratis internet dapat dilihat dari karakternya yang cenderug desentralistis, anonim dan memiliki daya tahan yang tinggi (Klotz, 2004). Di negara yang demokratis, internet memiliki peran yang strategis karena kemampuannya untuk menyediakan oulet yang efisien sebagai pendukung media komunikasi yang lain. Di negara yang cenderung otoriter, internet berperan menjadi media alternatif untuk melawan dominasi ruang publik oleh penguasa. Internet secara umum memiliki kelebihan dibanding media konvensional dengan kemampuannya untuk menghadirkan pertukaran informasi yang lebih interaktif, memfasilitasi komunikasi vertikal dan horizontal, proses komunikasi yang relatif tidak termediasi, biaya yang murah, kecepatan komunikasi yang tinggi, serta minimnya batas dan sensor (Hague & Loader, 1999; Bentivegna, 2006; Jenkins at al, 2009; Harper, 2011)
Potensi keramahtamahan (conviviality) yang dihadirkan oleh internet semakin terasa disaat teknologi yang dikembangkan semakin mengarah pada keleluasaan pengguna untuk mencipta, memodifikasi dan berbagi konten informasi sesuai dengan selera masing-masing (user generated content). Budaya partisipasi dapat dimaknai sebagai budaya yang membuat setiap kontribusi individu memiliki makna, memungkinkan hambatan yang kecil untuk ekspresi artistik dan keterlibatan sipil, dukungan yang kuat untuk mencipta dan berbagi karya cipta serta kesempatan mentorship bagi pendatang baru untuk belajar kepada yang lebih berpengalaman (Jenkins et al., 2009).
Pada awal berkembangnya internet potensi partisipasi ini belum banyak dirasakan. Pengguna internet generasi awal masih cenderung terbiasa dengan budaya penerimaan pasif di era media massa sehingga belum menyadari potensi untuk menjadi partisipan aktif di media baru ini. Pengenalan aplikasi seperti weblogs, micro blog dan bentuk media sosial yang lain yang semakin ramah bagi pengguna dan memungkinkan pengguna untuk lebih berperan dalam pembuatan konten sangat mendukung lahirnya budaya partisipasi dalam pemanfaatan internet. Perkembangan teknologi internet melahirkan transisi dari budaya penerimaan pasif di era media massa pada akhir abad ke-20 menjadi budaya partisipasi aktif di awal abad ke-21 (Flew, 2009).
Transisi budaya ini dalam prakteknya memunculkan euforia bagi pengguna internet sehingga banyak pengguna internet yang terjebak pada konsep kebebasan yang tidak tepat. Kebebasan berekspresi yang seharusnya dimanfaatkan secara bertanggung jawab, seringkali berubah menjadi kebebasan untuk membenci dan kebebasan untuk mendistorsi informasi (Lim, 2017). Kebebasan untuk melakukan kritik dapat berubah menjadi ujaran kebencian atau pelintiran kebencian (Gaorge, 2017).
Personalisasi dan algorithmic enclave
Salah satu ciri penting dari era revolusi industri 4.0 adalah personalisasi atau penyesuaian spesifikasi produk barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen secara individual. Berbagai produk barang dan jasa tidak lagi dikemas dan dijual secara seragam. Saat ini konsumen semakin dimanjakan dengan kesempatan untuk membeli produk secara customized sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing.
Pertumbuhan pengguna media sosial di Indonesia yang sangat tinggi telah berkontribusi secara siginifikan dalam pengembangan budaya partisipasi dalam penggunaan internet dan tumbuhnya suatu bentuk ‘koneksi sosial’ baru di dunia virtual (Jenkins et al 2009). Koneksi sosial ini terbangun melalui interaksi yang dibangun melalui publik yang berjejaring (networked publics) sebagaimana didefinisikan oleh danah boyd (2011). Interaksi pengguna internet melalui akun media sosial masing-masing telah menciptakan publik yang berjejaring, terutama dengan adanya fitur seperti profil, daftar teman, ruang komentar dan update informasi terkini (boyd, 2011: 43). Beberapa platform media sosial populer seperti Facebook, Twitter dan Instagram menawarkan fitur-fitur yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk membangun koneksi sosial dan membangun komunitas imajiner baru melampaui batas-batas geografis.
Komunitas-komunitas imajiner baru ini tercipta secara sadar maupun tidak sadar melalui proses personalisasi yang diciptakan dan difasilitasi oleh pembuat platform media sosial. Komunitas-komunitas ini seringkali dibangun dalam lingkaran pertemanan dan pengikut yang terbatas. Fenomena koneksi sosial terbatas yang dibangun oleh komunitas-komunitas ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya alienasi sosial karena munculnya tendensi kuat dalam menyaring informasi secara selektif dan menciptakan gelembung penyaring (filter bubble) atau daerah kantong algorithmik (algorithmic enclave) dalam suatu jaringan tertentu yang membuat tidak memungkinkan masuknya informasi dan opini yang bertentangan dengan pandangan sebagian besar angota jaringan (Pariser, 2011; Lim, 2017).
Tantangan untuk Komunikasi Berkeadaban
Budaya partisipasi yang difasilitasi oleh teknologi internet telah membawa harapan pada kehadiran perangkat untuk keramahtamahan (tools for conviviality) yang dibayangkan oleh Ivan Illich di awal tahun 70an (Illich, 1973). Sebagai perangkat yang menjanjikan dalam pengembangan masyarakat yang ramah dan demokratis, internet telah berkontribusi dalam membangun publik berjejaring yang menjadi tantatangan baru bagi batas konvensional produsen dan konsumen media serta menjadi tantatangan bagi batas negara bangsa sebagai komunitas politik imajiner. Ben Anderson (1983) menyatakan bahwa komunitas imajiner berkembang dari penggunaan media yang sama. Di era revolusi industri 4.0, sharing penggunaan media tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Meskipun aspek lokalitas masih menjadi sesuatu yang penting dalam proses konstruksi identitas, suara-suara lokal dan moderat kini menghadapi tantangan yang berat dari globalisasi media.
Kemudahan yang ditawarkan oleh internet juga berimplikasi pada peran yang lebih kompleks dari ruang siber seperti dua sisi pisau. Di satu sisi kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi internet ini dapat dimanfaatkan untuk membangun masyarakat yang ramah dan beradab. Di sisi lain kemudahan ini dapat dimanipulasi untuk membatasi aliran informasi. Komunikasi ruang siber yang berkeadaban dapat dicapai dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk pengembangan pendidikan dan ekspresi gagasan serta identitas secara bertanggung jawab. Sebaliknya, pembatasan aliran informasi dapat terjadi karena regulasi pemerintah yang terlalu mengekang, konsentrasi dan konglomerasi kepemilikan media serta mekanisme penyaringan informasi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan pembuat aplikasi internet.
Isu penyaringan informasi ini memiliki implikasi yang sangat penting dalam pembentukan komunitas imajiner baru. Jika aspek paling esensial dari pemanfaatan media digital adalah peer matching, maka potensi ini berpeluang menciptakan gelembung penyaring yang membuat segmentasi komunitas dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan dan pendapat. Mekanisme penyaringan informasi ini sangat potensial untuk memperlebar jarak anara berbagai jaringan sosial di internet karena para anggota jaringan tersebut secara tidak sadar terjebak dalam perspektif sempit in-group dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat.
Era revolusi industri 4.0 membuka peluang bagi terciptanya berbagai jenis industri kreatif berbasis internet yang mampu memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, peluang komodifikasi informasi yang sangat terbuka juga memungkinkan lahirnya industri kebencian serta industri informasi palsu yang berbasis rekayasa ketersinggungan (manufactured offendedness) (Gaorge, 2017). Peluang berkembangnya industri kebencian ini terbuka lebar di tengah polarisasi masyarakat yang semakin tajam menjelang tahun politik 2019. Ikhtiar bersama untuk membangun iklim komunikasi berkeadaban menjadi langkah penting yang harus dimulai untuk membendung sisi-sisi negatif dari hadirnya revolusi industri komunikasi 4.0.