Pagebluk dan Religiusitas Soliter: Ketika Manusia Takut pada Virus

0
774
Jawa pos

Oleh: Syamsul Arifin

Wakil rektor I Universitas Muhammadiyah Malang

KLIKMU.CO

Terkadang untuk menggambarkan apa yang dihadapi masyarakat selama dua bulan terakhir ini adalah dengan menggunakan kosakata lokal, pagebluk, yang semakna dengan sampar. Kali pertama muncul di Kota Wuhan, Tiongkok, dan hanya dalam hitungan bulan, pagebluk alias sampar dengan akronim Covid-19 merambah ke seluruh penjuru dunia menjadi pandemi, termasuk di Indonesia.

Salah satu pertanyaan yang muncul di tengah badai Covid-19 adalah tentang hikmah. Dengan bertanya hikmah, kita ingin menguak sesuatu di balik suatu peristiwa, gejala, atau yang dalam filsafat disebut fenomena. Kelanjutan fenomena adalah noumena, yang berarti makna hakiki suatu peristiwa. Beberapa kali mendapatkan pertanyaan tentang hal tersebut, saya menjawab dengan kalimat sederhana: Wabah Covid-19 atau korona menyadarkan kita, betapa pun kita tetap manusia dalam arti primitif.

Dalam berbagai literatur, setidaknya di bidang sosial humaniora, antara lain bisa dibaca dalam serial terbitan Yuval Noah Harari, manusia digambarkan sedemikian canggih peradabannya hingga mencapai suatu tahapan homo deus, manusia yang menyetarai Tuhan, sebagaimana dikemukakan Harari dalam Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015).

Kendati terjadi sofistikasi, setidaknya dalam gambaran Harari, toh manusia tidak akan pernah bisa menghilangkan salah satu watak paling primitif dalam dirinya, yaitu takut. Di tengah pandemi Covid-19 yang baru dalam hitungan bulan ini, manusia dilanda rasa khawatir dan takut, baik terhadap persebaran Covid-19 yang tidak mengenal kelas sosial dan berlangsung begitu cepat maupun terhadap berbagai akibat turunannya jika tidak bisa ditangani secara cerdas dan cepat seperti terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam kondisi yang diliputi serbakhawatir dan takut, wajar jika manusia mencari suatu objek yang bisa dijadikan sesuatu yang memperkuat daya tahan dirinya. Lebih jauh, kondisi kehidupan bisa kembali normal. Objek yang dicari bisa berwujud secara bendawi (tangible) dan tidak berwujud (intangible). Memperbanyak ketersediaan segala fasilitas yang terkait dengan percepatan penanganan Covid-19 merupakan objek yang berwujud bendawi. Tetapi, ikhtiar ini belum dipandang cukup. Lalu, manusia mencari objek lain yang intangible. Salah satunya agama.

Agama sebenarnya memiliki dimensi ganda, bendawi dan nonbendawi, yang saling berkaitan. Tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat sakral lainnya merupakan dimensi bendawi agama yang sekaligus sebagai tempat terjalin dan terpeliharanya komunitas. Dalam situasi normal, umat beragama bebas bepergian ke tempat-tempat ibadah.
Tetapi, dalam situasi yang tidak normal seperti saat ini, yang meniscayakan keterjarakan secara fisik (physical distancing) agar terhindar dari penularan Covid-19, diharapkan pula terjadi perubahan perilaku dalam beragama.

Dalam konteks ini, apresiasi perlu disampaikan kepada organisasi keagamaan seperti di kalangan Islam yang telah mengeluarkan fatwa, alih-alih sekadar membatasi praktik-praktik ritual di masjid, tetapi bahkan menutupnya agar tidak dijadikan tempat ritual secara berjamaah. Fatwa itu memang menimbulkan benturan dengan kalangan tertentu yang disebabkan perbedaan cara pandang (mode of though) dan pada gilirannya cara bertindak (mode of action) dalam beragama.

Fatwa yang tidak saja membatasi, bahkan melarang pergerakan jamaah mendatangi tempat ibadah dengan alasan kedaruratan yang pada dasarnya pilihan rasional dengan alasan menghindari bahaya (darwul mafasid), dan juga sejalan dengan tuntutan thaharah, dalam praktiknya berbenturan dengan pihak yang memiliki modus berbeda dalam beragama. Masih saja dijumpai lontaran –justru dari kalangan agamawan, lalu diikuti oleh jamaahnya yang bertolak belakang dengan fatwa di atas– yang malah menimbulkan masalah kesehatan, baik secara individual maupun kolektif.

Religiusitas Soliter

Meskipun terasa berat, ketika kerumunan dibatasi, bahkan dilarang di berbagai ruang, saatnya mempraktikkan solitariness (kesendirian) dalam beragama. Keberagamaan secara soliter sejatinya tidak hanya dipraktikkan dalam situasi darurat seperti saat ini, karena historisitas agama hingga kemudian berkembang sedemikian beragam dimensi dan artikulasinya, bermula dari kesendirian.

Lesley Hazleton, pada awal pembahasan bukunya The First Muslim: The Story of Muhammad (2015), antara lain mendeskripsikan Muhammad sebagai sosok lelaki yang menghabiskan malam demi malam dalam perenungan soliter hingga kemudian mendapatkan wahyu pertama yang menjadi sandaran legitimasi kenabiannya.
Maka ketika kemudian sempurna menjadi suatu agama, di samping berkembang pula sebagai suatu peradaban (civilization) seperti ulasan Tariq Ramadan dalam Islam: The Essentials (2017), Islam memberikan stimulasi kepada pemeluknya merasakan salah satu dimensi penting dalam beragama, pengalaman (experience), dengan menjalankan praktik ritual tidak hanya dilakukan secara sendirian, bahkan waktunya pun ditentukan di kala hening, yaitu sepertiga malam sebagaimana dinyatakan dalam Al Isra ayat ke-17.

Dengan cara begitu, Islam di satu sisi tetap memberikan arti penting pada kolektivisme atau komunalisme yang dibangun, antara lain, melalui praktik-praktik ritual tertentu yang dijalankan secara berjamaah di tempat ibadah (masjid). Namun, kesendirian (solitariness) penting direngkuh pula oleh seorang muslim. Mengapa? Momen soliter memberikan ruang secara lebih leluasa untuk membangun suatu relasi yang lebih intim antara individu dan Tuhan.

Dalam relasi secara demikian, individu alih-alih menghayati Tuhan sebagai realitas yang menakutkan (Tuhan Sang Musuh), melainkan Tuhan sebagai sahabat atau Tuhan Sang Sahabat, yang dalam penghayatan ini, Tuhan menurut filsuf Alfred North Whitehead menjadi Sahabat karib kepada siapa seluruh ciptaan mencurahkan hatinya. Pengalaman semacam ini bisa dicapai justru di ruang privat ketika kita berada dalam ketersendirian yang memberikan ’’keleluasaan’’ dalam mengekspresikan gerakan fisik dan verbal dalam berkomunikasi dengan Tuhan.

Dalam ruang privat yang soliter, gerakan dan ungkapan verbal melampaui (beyond) gerakan dan ungkapan verbal agama di ’’ruang publik’’ yang cenderung seragam. Di tengah badai Covid-19, ketika agama diarahkan ke rumah secara temporer, akan memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan pengalaman keberagamaan secara soliter yang justru memberikan efek ganda sekaligus. Pertama, menghambat penyebaran Covid-19. Kedua, karena kita merasakan memiliki sahabat, kita memperoleh ketenangan dan kekuatan yang dapat meningkatkan imunitas kita. Semoga. (*)

Tulisan ini dimuat di Jawa Pos edisi Senin, 20 April 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini