Polemik Kata “Perempuan”, Ini Saran Komnas Perempuan kepada Penyusun Kamus

0
445
Para anggota Komnas Perempuan dalam sebuah kesempatan. (Kompas megapolitan)

KLIKMU.CO – Polemik kata “perempuan” dalam KBBI yang terjadi akhir-akhir ini mendapat tanggapan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, peran bahasa amat penting dalam membangun nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

“Bahasa tidak bebas nilai, melainkan bagian dari budaya yang mengandung nilai-nilai tertentu dan turut membentuk pandangan dunia seseorang dan masyarakat. Bahasa juga berkembang dan arti kata bisa bergeser seturut dinamika masyarakatnya,” ujarnya dalam rilis yang diterima Klikmu.co, Kamis (18/2/2021).

Penelusuran Komnas Perempuan terhadap pertumbuhan kamus ekabahasa Indonesia mencatat bahwa Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang disusun oleh WJS Poerwadarminta dan diterbitkan kali pertama pada 1953 dan dicetak ulang sepuluh kali sampai tahun 1989 merupakan kamus ekabahasa Indonesia yang pertama. KUBI kemudian dikembangkan oleh Pusat Bahasa menjadi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang edisi pertamanya terbit tahun 1988. Hingga kini, penerbitan KBBI Pusat Bahasa sudah memasuki edisi kelima.

Andy Yentriyani juga mengatakan bahwa Komnas Perempuan mencatat sebuah kata di dalam kamus mengalami perluasan dan atau pergeseran arti, penambahan lema (bentuk baku dari sebuah kata) dan sublema seturut perkembangan bahasa dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan penjelasan tim penyusun dalam rilisnya bahwa kata perempuan terdaftar dalam KBBI sejak edisi pertama (1988). Saat itu, kata perempuan diberi padanan kata saja, yaitu ‘wanita’ dan ‘bini’.

Pada edisi pertama sudah dicantumkan beberapa gabungan kata berinduk kata perempuan, seperti: “perempuan geladak”, “perempuan jahat”, “perempuan jalan”, “perempuan jalang”, “perempuan jangak”, “perempuan leach”, dan “perempuan nakal”. Baru dalam edisi-edisi selanjutnya, arti kata ditambahkan sebagai “orang (manusia) yang memiliki puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui”. Kata ‘wanita’ dan ‘bini’ dipertahankan sebagai padanan.

Sejak edisi kedua sampai seterusnya, definisi kata ini ditambah lagi dengan ‘betina’ yang dilengkapi penjelasan ‘khusus untuk hewan’. ‘Perempuan lacur’ masuk dalam KBBI edisi kedua dan ‘perempuan simpanan’ dalam KBBI edisi ketiga. Sampai KBBI edisi kelima tidak ada lagi penambahan gabungan kata untuk lema perempuan. Namun, penyesuaian beberapa kali dilakukan terutama penggantian kata pendefinisi pada lema ini, yaitu ‘puki’ yang terekam dalam edisi I dan II diubah menjadi vagina pada edisi III dan selanjutnya.

“Pengertian dan penggabungan kata perempuan tersebut tidak memiliki ungkapan yang positif  dan belum mengalami pemutakhiran sesuai dengan situasi Indonesia yang semakin demokratis dan memahami kesetaraan serta hak-hak asasi perempuan,” katanya.

Andy Yentriyani lantas membandingkan dengan lema dan sublema laki-laki yang positif semua, baik definisi maupun gabungan kata berinduk laki-laki, seperti laki-laki jemputan, yang artinya “laki-laki yang dipilih dan diambil menjadi menantu”, atau arti positif lain seperti “orang yang mempunyai keberanian dan kegagahan.”

“Mandat utama Komnas Perempuan adalah membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu upayanya adalah dengan menyusun Tesaurus Kekerasan terhadap Perempuan,” tuturnya.

Tesaurus nanti berguna sebagai sarana atau alat untuk mengawasi kosakata dalam proses penyusunan indeks dokumen yang memuat khazanah kata maupun singkatan/akronim terkait kekerasan terhadap perempuan, penjelasannya maupun kontruksi kata-kata baru dan tafsir yang mendukung hak-hak asasi perempuan.

Komnas Perempuan juga mengakui bahwa arti kata dalam sebuah kamus mengalami perjalanan yang menunjukkan penafsiran atas kata, baik kata pinjaman dari bahasa asing maupun yang berasal dari khasanah budaya-budaya Nusantara sendiri. Selain itu, sebuah kamus juga disusun berdasarkan sumber-sumber data bahasa yang kriterianya telah ditetapkan oleh tim penyusun. Pada dasarnya, sebuah edisi kamus tak pernah selesai karena masyarakat pengguna bahasa juga berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, dan lain-lain.

“Sehubungan dengan itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan c.q Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa agar memutakhirkan arti kata “perempuan” melalui, antara lain, penambahan sublema perempuan dan memperluas arti. Selain itu, memperluas sumber-sumber data bahasa dengan menyertakan publikasi yang relevan antara lain dari lembaga-lembaga hak asasi manusia,” terangnya.

Komnas Perempuan juga meminta organisasi masyarakat sipil agar turut menyosialisasikan kata-kata yang mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penghormatan terhadap asasi perempuan serta inklusif.

“Selain itu, media massa juga turut mendukung dengan membangun narasi dan memilih ungkapan yang mendukung kesetaraan dan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia,” katanya.

Komnas Perempuan juga meminta organisasi-organisasi keagamaan agar membangun narasi dan menggunakan kosakata yang menjunjung kesetaraan dan keadilan gender serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan. (AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini