Oleh: Anang Dony Irawan
Wakil Ketua PCM Sambikerep, Pengajar FH UM Surabaya

KLIKMU.CO – Pada 59 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Surat perintah tersebut populer dengan sebutan Supersemar.
Berbagai isu muncul atas dikeluarkannya Supersemar tersebut. Bahkan, keberadaan surat perintah yang asli sampai sekarang pun tidak diketahui. Surat yang beredar saat ini disebut memiliki empat versi, yaitu dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan. Dikutip dari Tagar.co, sumber dari Puspen TNI AD dan Akademi Kebangsaan masing-masing memiliki satu versi satu lembar, sedangkan dari Setneg ada dua versi: satu lembar dan dua lembar.
Dengan adanya kekacauan yang disebabkan oleh Gerakan 30 September oleh PKI (G30S/PKI), kondisi negara tidak lagi kondusif. Keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam keadaan bahaya. Hal ini tentu membuat rakyat khawatir atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu.
Pokok isi Surat Perintah tersebut ada tiga, yang ditujukan kepada Letjen Soeharto, yaitu:
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu agar terjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan lainnya dengan sebaik-baiknya.
- Melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.


Berlandaskan Surat Perintah tersebut, Letjen Soeharto, atas nama Pemimpin/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, mengeluarkan Pengumuman No. 1 Presiden Republik Indonesia tanggal 12 Maret 1966 dengan harapan agar seluruh rakyat membantu Pemerintah dan Angkatan Bersenjata untuk tidak bertindak sendiri-sendiri, melainkan selalu terpimpin dan terkoordinasi serta tetap memelihara keamanan dan ketertiban umum serta kelangsungan hidup sehari-hari.
Kemudian, disusul dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang pada pokoknya berisi:
- Membubarkan Partai Komunis Indonesia, termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat hingga daerah, beserta semua organisasi yang seazas, berlindung, atau bernaung di bawahnya.
- Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Surat Perintah 11 Maret 1966 menjadi titik awal dalam penataan kembali kondisi pemerintahan dan masyarakat yang tidak tertib serta menimbulkan kekhawatiran atas kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan G30S-nya. Wewenang yang diperoleh Letjen Soeharto dari Presiden Soekarno melalui surat perintah tersebut segera terasa pengaruhnya, bahkan dianggap sebagai awal lahirnya Orde Baru. Sejak keluarnya Supersemar, aksi-aksi mahasiswa berkembang luas.
Selama dua hari, tanggal 12 dan 13 Maret 1966, para mahasiswa tidak lagi mengadakan aksi-aksi yang dapat mengganggu ketertiban umum. Mereka hanya mondar-mandir ke sana kemari menggunakan truk pinjaman. Bahkan, mereka pun tidak menyadari bahwa aksi-aksi yang telah mereka lakukan telah menyebabkan beberapa rekan mereka meninggal dunia, salah satunya Arief Rachman Hakim (mahasiswa Jakarta).
Dengan gagalnya kudeta yang dilakukan PKI dan dinyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia, ketertiban umum dan jalannya pemerintahan kembali terwujud, termasuk pembersihan anggota Kabinet Dwikora dari antek-antek PKI saat itu. Hal ini menjadi pembelajaran bagi generasi bangsa saat ini bahwa perjalanan bangsa ini pernah diwarnai dengan berbagai intrik. Tinggal bagaimana kita menjaga dan merawat bangsa ini agar tetap damai serta kondusif terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat membuat bangsa ini goyah dan hancur.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Harga Mati bukan hanya sekadar slogan, tetapi perlu diwujudkan dan dijaga keberlangsungannya. (*)