Ahlus Sunnah was Syiah

0
214
Nurbani Yusuf adalah dosen UMM dan pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar. (Ilustrasi Tim Redaksi KLIKMU.CO)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Syiah didefinisikan sebagai suatu golongan yang mempunyai aliran paham politik bahwa yang berhak menjadi imam kaum muslimin sesudah Rasulullah saw wafat hanyalah Sayidina Ali bin Abi Thalib.

Buya HAMKA menuturkan bahwa perbedaan pokok Suni dan Syiah timbul karena pertentangan paham politik. Suni mengakui keempat sahabat Nabi saw: Abubakar, Umar, Ustman, dan Ali radiallahuanhuma memiliki hak yang sama menjadi khalifah dan sama-sama sah.

Di kalangan Syiah tak dimungkiri ada kelompok ekstrem yang berlebihan (ghulat). Tapi HAMKA juga memuji ada kelompok zaidiyah yang moderat, yang mengedepankan dakwah dan mengesampingkan perbedaan dan ikhtilafiyah.

Seperti halnya para pembaharu Islam di era modern, semisal Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya, Buya HAMKA memandang Syiah sangat mengejutkan: sebagiannya kufur, sebagiannya bidah, dan sebagiannya lagi tidak keduanya. Hal serupa juga terjadi di kalangan yang mengaku Suni:

Jangan lupa, jargon ‘sang pencerah’ atau raushanfikr juga berasal dari Ali Syariati cendekiawan Syiah yang fenomenal saat merobohkan rezim Pahlevi.

KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pernah menyatakan, Islam di Indonesia ini sebetulnya bermazhab Ahlus Sunnah was Syiah. Ini pernyataan jujur sekaligus menarik.

Benar apa kata Gus Dur. Sampai detik ini, banyak sekali “tradisi Syiah” sudah menyatu dengan tradisi Islam di Indonesia, terutama di kalangan kaum Nahdliyin.

Contoh, tradisi mengusap kepala anak yatim piatu, memakai celak, membuat bubur Suro, manakiban, dan mengarak tabut pada bulan Asyura di beberapa daerah di Indonesia, jelas itu semua berasal dari Syiah.

Kampanye Syiah bukan Islam perlahan mulai menuai hasil—kenapa Salafi-Wahabi begitu bernafsu membuang Syiah dalam jamaah kaum muslimin? Meski berbanding terbalik dengan sikap resmi kerajaan Saudi yang menerima orang orang Syiah berhaji dan thawaf berkeliling di Bait Allah?

Sikap ambigu ini sangat pekat terlihat. Berbagai stigma dan kampanye hitam terus dilakukan untuk tidak mengakui Syiah sebagai bagian dari jamaah Islam. Permusuhan ini makin terlihat semenjak Khomaini melawan Amerika dan sekutunya.

Lantas siapa bisa menjelaskan sejarah dengan benar dan komprehensif, saat Sayidina Umar ra mendobrak pintu rumah Sayidah Fatimah ra hingga jatuh karena Sayidina Ali ra terlambat memberi baiat? Bukankah Sayidina Abubakar dan Sayidah Fatimah tidak bertegur sapa hingga beliau wafat? Atau perang siffin antara Sayidina Ali dan Sayidah Aisyah ra?

Bagi sebagian orang, beda politik berati beda akidah, beda pilihan sama juga dengan beda iman. Lantas istilah-istilah agama semacam kafir, zalim, munafik, sesat, hidayah diboyong ke ranah politik praktis.

Jadilah pesta rakyat seperti perang antaragama atau perang antariman. Terlihat sibuk, tapi tidak mendapat apa-apa sebab yang diinginkan bukan kedamaian apalagi kesejahteraan, tapi kekacauan.

Buku menarik karya Karen Amstrong tentang perang suci sedikit bisa menjelaskan bagaimana latar belakang hampir semua perang agama bukan membela iman, tapi lebih karena egoisme dan arogansi atas tafsir iman. Atau seni cara membunuh dengan pisau belati yang eksotis, yang dikenalkan Syiah Qaramithah di Alamud yang belakangan juga menjadi agama.

Jadi sebenarnya ini lebih pada soal ‘nafsu beragama’ yang kelewat batas, lantas menabrak apapun sepanjang dianggapnya benar tanpa kata. Tapi lihatlah orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu: firman Allah dalam Al Quran sungguh menjelaskan. walllahu taala a’lm. (*)

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini