Antara Bekerja dan Berkarya

0
182
Ace Somantri, dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PDM Kabupaten Bandung. (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Hal yang lumrah, sejak mulai dewasa, hampir semua orang melakukan sebagaimana mestinya. Pertumbuhan fisik jasad manusia dibarengi perkembangan psikologisnya sehingga ada keseimbangan dalam berpikir dan berprilaku. Realitas yang ada, setiap individu manusia ketika menjelang usia dewasa sudah dipastikan dalam benak pikirannya bagaimana dia berbuat sesuatu yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh dirinya maupun orang lain.

Pikiran untuk melakukan hal tersebut bukan sesuatu yang diada-adakan, melainkan naluri alamiah seorang manusia masuk pada usianya. Perkembangan berpikir manusia, selain faktor pendekatan usia bilangan angka atau kuantitas kalender masehi. Pun sama faktor perjalanan yang dialami memengaruhi cara berpikir setiap individu, baik pergaulan sosial maupun latar belakang pendidikan.

Fakta sosial tidak dapat diralat. Cara berpikir individu manusia dipengaruhi paling dominan oleh perjalanan hidup dan latar belakang pendidikan. Tampaknya hampir dapat dikatakan semua orang menyepakati pengaruh tersebut. Semakin dinamis ketika jalan hidup menyerap berbagai teori-teori ilmiah keilmuan yang memaksa terus berpikir, apalagi dibarengi penuh kepahitan dan kegetiran hidup dalam berinteraksi dengan alam, maka akan semakin terasah cara berpikirnya, karena teori-teori alamiah mampu didapat.

Wajar bagi seseorang ketika masuk usia tertentu mulai berpikir dewasa, dan para pakar pendidikan pun memberikan salah satu kata kunci terminologinya bahwa pendidikan menjadikan manusia berpikir dewasa. Pertanyaannya, yang dimaksud berpikir dewasa jelasnya seperti apa dalam ranah kehidupan sehari-hari? Hal itu penting diketahui supaya setiap individu mampu membuat dirinya sadar akan apa yang dilakukannya.

Dalam kehidupan alam bebas, ketika bicara tentang hal ihwal kesadaran diri relatif sulit untuk dipahami secara terbuka, baik terhadap dirinya, apalagi kepada orang lain. Sependek yang dipahami, perjalanan hidup atau pengalaman pahit dalam ketertindasan dari sistem sosial yang tidak adil mampu mengedukasi diri membangun kesadaran bersikap.

Sebaliknya, ketika seseorang mengalami perjalanan hidup penuh dengan serba-ada yang cenderung lebih nyaman, terlebih menikmati di atas penderitaan orang lain sangat sulit membangun kesadaran diri yang sebenarnya. Sehingga kesadaran seseorang fakta sosialnya dibatasi oleh ilmu yang didapat dalam pendidikan, namun salah satunya yang paling tegas dan jelas oleh pengalaman sosial yang pahit dan juga pengalaman sosial yang manis.

Kembali pada awal, bahwa setiap individu ketika masuk usia dewasa sering muncul dalam benak jiwa raganya bagaimana dia harus “bekerja” atau mendapat pekerjaan. Tidak aneh, dalam kehidupan orang dewasa kesehariannya selalu bersentuhan dengan dunia pekerjaan masing-masing profesinya.

Hanya sering muncul diksi-diksi yang memberi penekanan yang seharusnya dipahami beda dalam praktisnya dalam lingkungan pekerjaan di mana seseorang beraktivitas. Konsekuensinya ketika salah memahami akan berdampak pada produktivitas kegiatan yang dilakukan, baik yang dilakukan secara mandiri maupun berkelompok. Bicara bekerja, semua orang bisa bekerja karena kata kunci dari bekerja cukup dengan tenaga semata atas dasar instruksi, bukan atas dasar hasil berpikir.

Sebaiknya untuk meningkatkan produktivitas kegiatan, bukan bekerja melainkan “berkarya”, karena seseorang ketika memiliki mindset berkarya dalam benak pikirannya bukan kuantitas waktu yang dapat dipenuhi, melainkan kualitas waktu yang didapat.

Hampir dipastikan setiap individu orang meyakini dan dapat diakui, bahwa hasil karya sangat berbeda hasil bekerja, karena berkarya pendekatannya atas dasar berpikir sementara bekerja atas dasar instruksi. Jikalau dalam sebuah institusi masih menitiktekankan bekerja, jangan berharap banyak akan produktivitas yang dihasilkan. Beda sekali dengan berkarya, nilainya lebih pada peningkatan produk karya nyata yang dapat memberikan aspek wujud material yang dapat dimanfaatkan sekaligus dirasakan.

Bisa jadi secara praktis antara bekerja dan berkarya dapat dilakukan bersama, bahkan lebih tepat dan lebih baik dibanding harus dipisahkan di antara keduanya. Hanya, pemaknaan tersebut sering salah kaprah sehingga mengakibatkan ada tuntunan dan tuntutan yang berbeda ketika menjalankan sesuatu yang dilakukan untuk diperbuat.

Faktanya, seseorang melakukan pekerjaan ketika ada perintah atau instruksi, dan sebaliknya akan cenderung diam ketika tidak ada perintah. Padahal, setiap orang hakikatnya dalam hidup itu dituntut untuk melakukan pekerjaan atas dasar kebutuhan dan pikiran yang waras sehingga melahirkan sebuah karya. Rene Descartes memberi sedikit ungkapan “cogito ergosum” aku ada karena aku berpikir. Begitu kira-kira seorang filosof terkenal yang banyak mempengaruhi para ilmuwan barat awal ketika memulai membangun karya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini