Antara Gerakan Moral Keagamaan vs Kekuasaan

0
44
Muhammad Abidulloh. (Pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Muhammad Abidulloh, Praktisi Dakwah dan Mantan Jurnalis

Isu yang paling aktual, menyita ruang obrolan masyarakat, tak terkecuali warga Muhammadiyah, persoalan tambang. Semoga bukan tambang masalah yang membawa ke arus pecah belah.

Dibutuhkan cara bersikap yang tepat, dewasa, dan bijaksana.

Memang, dapat didekati secara simpel dan sederhana, tetapi tak dapat dinafikan kemungkinan cara pandang  yang mengundang variabel berderet panjang. Sudah barang tentu dibutuhkan cara yang lebih seksama.

Sebagian mencoba pendekatan dengan sudut pandang, pinjam teori konspiratif. Pendekatan ini mencoba merunut ikatan benang merah, relasi antara “gerakan masyarakat” dengan pemegang kekuasaan. Disinyalir, ada udang di balik batu. Persoalan tambang hanya fenomena puncak gunung, yang sebagian tubuhnya tertutup kabut dan bongkahan es yang tebal.

Masuk akal, masalah tambang ini berdekatan dengan peristiwa komisaris Independen BSI. Persoalan yang menggoda siapa pun untuk beropini dan bersyakwa sangka. Bukan tidak mungkin, adanya uji situasi, relasi antara penguasa dengan pergerakan moral masyarakat. Setelah itu ada apa? Sebuah pertanyaan yang harus dicari jawabannya dengan cermat dan tepat.

Dalam catatan sejarah tergambar, relasi antara gerakan moral-keagamaan dengan kekuasaan sangat dinamis. Kadang mesra, tak jarang juga berpotensi penuh ketegangan. Pilihan alamiahnya, menyelamatkan keberlangsungan lembaga pergerakan. Pilihan terakhir yang lebih diutamakan.

Seringkali, pihak pergerakan harus berhadapan dengan situasi yang rumit. Lebih lagi, tidak punya banyak pilihan.

Apa pun itu harus pada pilihan kemaslahatan kontekstual, sesuai situasi dan kondisi.

Kerap kali, pilihan tidak populer atau rawan cibiran. Pemimpin tahu sepenuhnya, tapi disadari betul, bila perlu ada  risiko yang harus diambil. Walaupun berkesan miring bahkan menyakitkan. Kembali lagi, tak banyak pilihan.

Uji relasi itu pernah terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru. Pengalaman menarik, ketika harus menelan pil pahit, “Pancasila sebagai azas tunggal”. Tidak tanggung-tanggung risikonya. Isu akidah begitu rawan mengoyak hati nurani.

Apa boleh buat. Muktamar Ke-41 di Surakarta, Muhammadiyah harus menerima pil yang menyakitkan itu. Tentu diiringi suara batin penuh tangisan. Bibir kelihatan senyum, tapi getaran derita di hati menggoncang hebat. Sudah barang tentu, fenomena yang harus tersembunyi dari kasat mata biasa. Jelas sekali, bagian dari strategi perjuangan.

Pilihannya, Persyarikatan jalan terus meski penuh onak dan duri. Dirasa tak ada pilihan lain,  bisa berakibat lebih buruk lagi. Ketentuan kekuasaan memiliki alasan konstitusional agar laju perjuangan berhenti.

Betapa pun, kekuasan adalah pertimbangan yang benar-benar ada dan nyata.

Dinamika semacam itu juga terjadi di belahan dunia lain. India misalnya, yang melalui serangkaian peristiwa penuh liku. Dari gerakan moral-kultural sampai pertentangan deamitral telah dilalui.

Posisi politis yang ada dalam genggaman umat Islam kian lama terkikis habis. Kesultanan Islam India satu per satu bertumbangan. Gagalnya pergolakan bersenjata menambah buruk kondisi umat Islam. Di sisi lain, masyarakat Hindu mendapat keuntungan, sikap permisif dari penjajah Inggris.

Sikap oposisi pimpinan muslim India berakibat semakin represif pemerintah penjajah. Situasi masyarakat muslim semakin rumit dan pelik. Di samping berhadapan dengan Inggris, juga pertentangan dengan masyarakat Hindu.

Dalam situasi semacam itu, muncullah pemikir muslim yang lebih moderat. Dalam sejarah pemikiran India dikenal sebagai “Modernis”. Mereka terpengaruh pemikiran Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Salah satunya, Sayyid Ahmad Khan.

Belajar dari Sayyid Ahmad Khan. Tokoh pergerakan India, keturunan Sultan Mongolia dan garis keturunan Rasulullah. Tokoh besar ini harus berkurban, menerima kritik tajam, akibat jalan yang ditempuh, berbeda dengan pemikir dan pejuang lain sebelumnya.

Tuduhan “antek Inggris” harus diterimanya dengan lapang dada. Motif tujuannya tidak perlu orang tahu. Apalagi missi rahasia harus dijalaninya.

Tentu ada sisi negatif dari perjuangannya. Namun, bila adil menilai, sisi positifnya tidak main-main.

Pandangan penjajah Inggris terhadap umat Islam India, perlahan berubah. Yang dulunya sangat represif menjadi permisif. Banyak tawanan politik muslim dibebaskan.

Memang, dulu Inggris lebih mendengar opini dari masyarakat Hindu, yang memanfaatkan situasi dengan menyudutkan umat Islam. Langkah yang ditempuh Sayyid Ahmad Khan berhasil mengubah opini itu. Kaum muslimin mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari Inggris.

Berdirinya Republik Islam Pakistan tak lepas dari jasa Ahmad Khan. Pemerintah Inggris membantu membukakan pintu lebar-lebar sehingga pada tahun 1947 berdiri Republik Islam Pakistan.

Pengalaman pahit HTI salah satu cermin buruknya relasi dengan kekuasaan. Secara kelembagaan berhenti berbuat. Masyarakat luas pun tak bisa berbuat apa pun.

Wallahu A’lam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini