Apakah Kader Muhammadiyah Dilarang Menjabat?

0
13
Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Bolehkah warga Muhammadiyah menduduki posisi jabatan di pemerintahan?

Pertanyaan ini sederhana, tapi menjadi tidak elegan ketika ada sebagian kita yang menganggap jabatan sebagai sebuah aib atau sebuah cela yang harus dihindari. Sebab, tidak sedikit pejabat yang berasal dari warga Muhammadiyah di-bully dengan berbagai stigma: penjilat, menjual Muhammadiyah, khianat, dan entah apalagi.

Jadi, menurut Muhammadiyah apakah jabatan di pemerintahan itu terlarang? Atau sesuatu yang niscaya?

Setidaknya ada dua kutub ekstrem dan sikap kompromistis menyikapi jabatan. Pertama, yang dengan penuh ambisi menginginkan jabatan, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan jabatan.

Kedua, menolak dengan ekstrem karena takut tidak amanah dan menganggap jabatan sebagai aib atau cela.

Ketiga, sikap kompromi yang menempatkan jabatan sebagai amanah untuk tegakkan izzul Islam dan maslahat bersama.

Abu Musa berkata, “Saya masuk menemui Nabi bersama dua orang teman. Lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) aku sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullah.” Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Lalu Nabi bersabda, “Sungguh aku tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang berambisi terhadap jabatan itu.” (HR Bukhari, Abu Daud dan Nasai).

Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu ambisiusnya, maka ia tidak akan ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124).

Dari ‘Abdurrahman bin Samurah ra: Telah berkata kepadaku Rasulullah saw: “Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan. Karena sesungguhnya jika engkau diberikan karena memintanya, maka jabatan tersebut akan sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Jika engkau bersumpah dengan satu sumpah di mana saat itu engkau melihat hal lain yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka ambillah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu.” [Muttafaqun ’alaihi].

Bila dikatakan: Bagaimana keadaan Nabi Yusuf ‘alaihis-alaam yang meminta jabatan bendaharawan negara, sebagaimana firman-Nya:

‎اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)” [QS. Yusuf : 55]?

Maka jawaban atas pertanyaan itu adalah firman Allah ta’ala:

‎إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” [QS. Yusuf: 55]

Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Nabi Muhammad saw ia bersabda, ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil.

Siapakah pemimpin adil itu?

Apakah Presiden, Menteri, Gubernur? Bahkan suami di hadapan anak dan istrinya, atau guru di depan muridnya, itulah pemimpin, maka jangan sibuk mengurusi kepemimpinan orang lain sebab di pundakmu juga ada amanah yang dibebankan.

الإمام العادل الحاكم العام التابع لأوامر الله تعالى فيضع كل شيء موضعه من غير إفراط ولا تفريط فدخل في ذلك الأمير ونوابه والرجل في أهله والمرأة في بيتها والمدرس في فصله

Imam atau pemimpin yang adil pemerintah secara umum yang mengikuti perintah Allah. Ia menempatkan segala sesuatu di tempatnya tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan. Kata ‘pemerintah’ di sini mencakup presiden dan aparatnya sampai yang terbawah, seorang di tengah istri dan anak-anaknya, seorang istri di rumah, seorang guru di dalam kelas,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 256).

PP Muhammadiyah dan seluruh ortomnya, PB NU dan seluruh banomnya, adalah pejabat publik dalam konteks luas. Sebab di dalamnya mengandung banyak pengambilan kebijakan bersangkut keislaman, keumatan, dan kebangsaan. Sebagian besar pembiayaan menggunakan dana publik dan jamaah. Auditnya di akhirat kelak.

Masing-masing kita akan ditanya tentang amanah yang dibebankan: tentang apakah jamaahnya bertambah atau berkurang, sesuai dengan tujuan atau menyimpang, tentang asetnya dikelola dengan jujur atau culas, dan seterusnya.

Pendek kata, semua jabatan yang melekat baik sebagai pejabat negara atau pejabat di persyarikatan, ormas atau lainnya memiliki beban sama tanpa kecuali.

Tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mendapat gaji dan fasilitas lantas memegang jabatan asal-asalan, tidak amanah sesuka hati. Wallahu ta’la a’lm. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini