Oleh Didik Hermawan MPd
Ketua PCPM Pakal, Pembina IPM SMP Muhammadiyah 15 Boarding School Surabaya

Peringatan Milad ke-113 Muhammadiyah tahun 2025 dengan tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa” menjadi momentum penting untuk melakukan refleksi mendalam atas konsistensi ideologi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan pernyataan ideologis yang menegaskan kembali arah gerakan Muhammadiyah: menjadikan Islam sebagai kekuatan moral, intelektual, dan sosial untuk membangun kesejahteraan yang berkeadilan.
Dalam konteks ini, semangat mewarisi api pembaruan berarti menyalakan kembali kesadaran profetik bahwa keislaman sejati selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia dan kemajuan bangsa.
Fondasi Ideologis Kesejahteraan
Sejak berdirinya pada tahun 1912, Muhammadiyah telah meneguhkan tajdid sebagai inti ideologinya. Tajdid bukan sekadar pembaruan ritual, tetapi juga pembaruan sosial dan epistemologis. KH Ahmad Dahlan menegaskan bahwa Islam harus hidup dalam kerja kemanusiaan: mendidik, menyehatkan, dan menyejahterakan umat. Dari pemahaman inilah lahir ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial sebagai wujud dakwah bil hal. Dengan demikian, memajukan kesejahteraan bangsa merupakan konsekuensi logis dari ajaran tauhid yang berimplikasi sosial bahwa keimanan harus melahirkan kemanfaatan publik.


Tajdid, dalam kerangka ideologis, menjadi mekanisme adaptif Muhammadiyah dalam menjawab tantangan zaman. Di era digital dan disrupsi global, tajdid menuntut kemampuan berpikir kritis dan berbasis ilmu pengetahuan agar dakwah Islam tetap kontekstual. Memajukan kesejahteraan bangsa tidak cukup dengan moralitas, tetapi juga membutuhkan rasionalitas ilmiah, inovasi ekonomi, dan keberpihakan pada keadilan struktural. Dalam hal ini, tajdid adalah energi ideologis yang memastikan Islam selalu menjadi sumber solusi bagi problem keumatan.
Kesadaran Historis dan Etika Sosial
Api pembaruan yang diwariskan KH Ahmad Dahlan merepresentasikan kontinuitas antara iman dan amal, antara teks dan realitas. Pembaruan bukanlah tindakan sesaat, melainkan kesadaran historis yang terus menyala. Di masa lalu, Muhammadiyah membangun sekolah dan rumah sakit sebagai instrumen kesejahteraan sosial; di masa kini, api yang sama harus diwujudkan dalam penguatan literasi, teknologi, dan kemandirian ekonomi umat.
Dalam konteks memajukan kesejahteraan bangsa, api pembaruan berfungsi sebagai etika sosial: membangun sistem yang menegakkan keadilan, memberdayakan yang lemah, dan menolak eksploitasi dalam bentuk apa pun. Kesejahteraan tidak boleh hanya dimaknai sebagai kemakmuran material, tetapi juga kesejahteraan moral dan spiritual. Di sinilah nilai Islam berkemajuan berperan: mengintegrasikan keimanan dengan kemanusiaan, pengetahuan dengan pengabdian.
Konsistensi Ideologis di Tengah Disrupsi Global
Konsistensi ideologis Muhammadiyah menjadi kunci agar gerakan ini tidak larut dalam pragmatisme modernitas. Di tengah arus globalisasi, perubahan teknologi, dan krisis moral publik, Muhammadiyah ditantang untuk tetap menjaga kemurnian orientasi dakwahnya: dakwah pencerahan (tanwir) yang menuntun, bukan mendominasi. Prinsip-prinsip tauhid, ilmu, dan amal yang menjadi fondasi ideologi Muhammadiyah harus terus dihidupkan sebagai pedoman berpikir dan bertindak.
Upaya memajukan kesejahteraan bangsa dalam konteks ini menuntut sinergi antara keilmuan dan keberpihakan sosial. Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada aktivitas karitatif, tetapi harus memperluas peran strukturalnya dalam advokasi kebijakan publik, penguatan ekonomi umat, serta pengembangan inovasi berbasis riset. Konsistensi ideologis menuntut keberanian untuk mengkritisi sistem yang tidak adil, sekaligus kemampuan membangun alternatif yang berbasis nilai keislaman dan keilmuan.
Kekuatan Moral dan Intelektual Bangsa
Sebagai moral force, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab menjaga keadaban publik di tengah polarisasi politik dan fragmentasi sosial. Spirit keislaman yang rasional dan inklusif menjadikan Muhammadiyah relevan dalam memperjuangkan kesejahteraan bangsa yang berlandaskan moralitas dan ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif keilmuan, kesejahteraan bangsa tidak hanya diukur oleh indikator ekonomi, tetapi juga oleh kualitas manusia yang beriman, berpengetahuan, dan beretika. Oleh karena itu, amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan harus terus diarahkan pada penguatan nilai-nilai kemanusiaan.
Kaderisasi Intelektual
Mewarisi api pembaruan berarti melanjutkan cita-cita profetik melalui kaderisasi yang menyentuh aspek iman, ilmu, dan integritas. Generasi muda Muhammadiyah memiliki peran strategis sebagai pengemban ideologi Islam berkemajuan di era digital. Mereka harus memiliki kemampuan berpikir lintas disiplin, mengintegrasikan sains, agama, dan teknologi untuk menjawab problem kebangsaan.
Tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa” mengandung panggilan moral bagi generasi muda untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi pelaku aktif perubahan sosial. Dakwah kontemporer harus menyentuh ruang-ruang baru ekonomi kreatif, inovasi digital, dan gerakan lingkungan sebagai wujud aktualisasi nilai Islam dalam konteks zaman.
Api yang Tak Pernah Padam
Refleksi atas perjalanan Muhammadiyah selama 113 tahun menunjukkan bahwa kekuatan gerakan ini tidak terletak pada besarnya organisasi, melainkan pada konsistensi ideologi dan keikhlasan amalnya. Api pembaruan yang dinyalakan KH Ahmad Dahlan tidak boleh padam, sebab di sanalah sumber energi moral dan intelektual umat.
Dalam tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”, Muhammadiyah dipanggil untuk terus menjadi pelita peradaban dengan mengintegrasikan iman dan ilmu, menegakkan keadilan, serta memperjuangkan kesejahteraan yang holistik: material, spiritual, dan sosial. Inilah makna terdalam dari mewarisi api pembaruan—menjadikan Islam bukan hanya ajaran normatif, tetapi kekuatan historis dan intelektual yang terus menyalakan jalan kemajuan bagi umat dan bangsa. (*)


						
			





