Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Tekanan pada masyarakat setelah harga BBM naik terus merangsek. Harga-harga pokok kian hari semakin meningkat. Sementara pendapatan rata-rata berkurang, bahkan tidak sedikit yang usahanya terus-menerus omzetnya menurun. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun juga. Semua mempererat ikat pinggang dalam rangka efesiensi keuangan keluarga. Gejolak sosial mulai terasa.
Saat ini masyarakat sudah apriori dan tidak peduli pada sesama. Apa pun caranya hari ini dan esok hari yang penting bisa makan untuk diri dan keluarganya. Jauh untuk bicara investasi, memenuhi biaya kebutuhan pokok saja harus pinjam sana-sini bayar, bagaimana nanti. Akhirnya banyak korban bank keliling atau bank emok, karena mudah dan praktis tidak peduli itu riba atau haram hukumnya.
Begitulah kondisi masyarakat hari ini. Berbagai cara pemerintah memberi kompensasi, padahal membuat masyarakat sering berhalusinasi. Nyata-nyata itu adalah sebuah bujuk rayu instan yang membuat makin terjebak menjadi musafir peminta-minta. Secara psikologis telah membentuk masyarakat berkarakter konsumtif. Entah itu by design atau kebetulan?
Karena dari karakter yang terbentuk tersebut pada akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain. Setiap orang memerlukan dukungan nyata untuk kepentingan politik praktis, baik momentum pemilu maupun membuat perizinan yang berhubungan pendirian sesuatu dari masyarakat cukup dengan selembar kertas yang habis seketika dalam hitungan menit tanpa terasa. Itulah halusinasi tingkat grass root. Jadi jangan aneh, budaya suap atau korupsi sudah menjadi satu kesatuan tubuh kebangsaan yang sulit dipisahkan.
Terlebih serangkaian peristiwa demi peristiwa memukul muka bangsa dan negara. Para birokrat, pejabat, dan para jenderal terlibat kolusi, korupsi, dan nepotisme akut telah menjadi hiasan dinding kelembagaan negara Indonesia. Anak, menantu, sanak, dan sahabat dekat mendapat posisi strategis dengan terang benderang terbuka. Tidak jauh seperti masa Orde Baru. Bahkan kata seorang pejabat Bapak Mahfud MD, praktik tersebut di atas lebih parah dari masa Orde Baru, apa alasannya?
Katanya, dulu masa Orde Baru hanya dilakukan fokus satu kelompok entitas partai politik. Saat ini banyak entitas partai yang terlibat, mengerikan memang. Harusnya pasca Orde Baru menikmati berbagai ghonimah dari hasil perjuangan reformasi. Justru saat ini ghonimah hanya sebuah bayangan dan halusinasi yang tidak nyata, sekalipun ada bantuan langsung malah menjadi virus kebahagian yang berakhir mengenaskan, atau dengan plesetan bantuan langsung tepar.
Siapa pun hari ini yang mendeklarasikan calon pemimpin bangsa, selama tidak memiliki kedaulatan sosial, ekonomi, dan politik bisa dikatakan mustahil akan ada perubahan. Kecuali calon pemimpin bangsa ketika terpilih, benar-benar mengambil peran sejak awal menjadi panglima perang tertinggi mengambil alih komando untuk melakukan perlawanan terbuka dengan musuh negara, baik dalam negara maupun di luar negara. Pasti itu dengan strategi jitu, bukan dengan strategi kompromi atau diplomasi.
Karena saat ini bangsa dan negara kita sudah terlalu banyak rakyat yang mati orientasi dan eksistensinya bak mayat hidup yang berkeliaran di atas bumi pertiwi. Kondisi negara seperti ini sangat mengkhawatirkan, apalagi alat negara saat ini sedang dalam siaga tertentu dengan terbongkarnya mafia dalam tubuh pelayan dan pengayom masyarakat. Belum juga mulai terendus ada keretakan dalam tubuh penjaga kemananan negara. Apabila itu benar negara ini benar-benar dalam keadaan terancam dan darurat.
Sekali lagi, bantuan langsung tepar telah menembus ranah bawah alam sadar, meracuni sikap warga negara berperilaku malas dan dungu. Bukan hanya memberi makan dan minum hanya sesaat dalam lapar haus dan dahaga yang bersifat sesaat, kemudian lapar lagi dan dikasih lagi makan dan minum, hingga terus-menerus seperti itu.
Apa bedanya dengan memelihara hewan setiap hari diberi makan dan minum dalam sangkarnya. Dia hidup tidak berkembang dengan baik, hanya menunggu makanan dari sang pemelihara. Rakyat itu manusia, jangan pikir kita ini semua seperti hewan yang dipelihara dalam kandang atau sangkarnya.
Apabila hal itu terus-menerus dilakukan kepada masyarakat, jangan mimpi masyarakat kita akan kreatif, apalagi inovatif. Yang ada akan menunggu di kasih makan dan minum dari pemeliharanya.
Apakah kita semua rela diperlakukan bak hewan peliharaan, cukup diberi makan dan minum hanya ratusan ribu rupiah. Itu penghinaan pejabat negara kepada pemilik saham negara sebenarnya. Wahai sahabatku sebangsa dan setanah air, janganlah kita semua mau diperlakukan tidak hormat. Kita pemilik negeri ini, bukan pembantu apalagi seperti hewan piaraan yang diperlakukan sekehendak mereka yang di pilih dan di angkat oleh kita semua.
Sekali mereka semua dipilih dan diangkat oleh rakyat Indonesia. Kembalikan hak rakyat, tunaikan kewajibanmu sebagai orang yang menerima mandat rakyat. (*)
Bandung, September 2022