BBM Naik, Rakyat Tercekik

0
47
Ace Somantri adalah Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Bandung dan dosen UM Bandung. (Ilustrasi Tim Redaksi KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Napas terengah-engah. Turun naik tensi semakin tidak terkendali stabilitasnya. Tubuh bangsa dan negara dalam situasi kondisi yang sedang tidak sehat mental. Jasad negara pun terganggu karena selama ini pola cash in cash out flow keuangan dalam kondisi sekarat. Berbagai jenis infus dipasang agar tetap bernapas dan berusaha meningkatkan energi tetap masih terbaring lemas.

Akhirnya satu per satu aset yang ada milik negara digunakan hanya untuk mempertahankan kematian yang sudah di ujung tenggorokan. Dengan tangan tidak berdaya akhirnya aset rakyat pun berusaha diambil dengan iming-iming kompensasi yang tidak berkeadilan. Apa boleh buat, nyawa bangsa ini sedang di ujung tanduk menunggu Maha Kuasa iba dan berharap memberi kekuatan pada jasad negara tetap bertahan walaupun letih, lemas tak berdaya dipenuhi berbagai jenis infus yang menempel dalam tubuh.

Rakyat tidak bisa marah karena semua paham bangsa dan negara ini sakit parah terbaring menunggu ajal tiba. Berbagai obat pun dicari hingga keliling dunia, namun hasilnya tidak memuaskan. Sesuai diagnosis para ahli bahwa penyakit yang diderita sudah akut dan sulit disembuhkan karena setelah didiagnosis tidak menerima dirinya sakit. Kenapa itu terjadi? 

Karena sakitnya ada di pusat ubun-ubun kepala dan harus ada bedah operasi yang membutuhkan waktu lama. Konsekuensinya setiap apa pun apabila mengalami gangguan sakit jasad maupun mental permanen seharusnya cepat diganti. Pun yang menggantinya jangan yang sudah memiliki dan mengidap penyakit kronis, apalagi terpapar virus yang sama, itu harus dihindari.

Di ujung hari-hari hidup bangsa dan negara ini memperihatinkan, kemarahan rakyat pun sudah tidak terdengar karena memang sedang sakit, bahkan para pembantu dan penjaganya sibuk mencari aman karena mereka mengetahui bahwa majikannya sedang terbaring sakit parah yang sulit disembuhkan.

BBM dinaikkan dengan berbagai alasan, namun semua alasannya ngawur, maklum sedang sakit. Akhirnya semua tanpa disadari lambat laun virusnya menyebar saking sakitnya lama. Rakyat pun sebagian terpapar virus yang sama. BBM naik pun rakyat tetap membeli walaupun rela antre mengular. Sepintas muncul pertanyaan kenapa mereka tetap antre beli, padahal harganya mahal?

Seharusnya pom bensin sepi pembeli, justru seperti tidak peduli harga berapa pun tetap akan aku beli. Kira-kira itu sebuah fenomena sakitnya unik di negeri ini. Bagaimanapun, hari ini sebelum BBM naik terjadi inflasi harga bahan pokok dan kebutuhan air bersih dan listrik. Semakin diperas tanpa rasa belas kasihan. Rakyat tercekik oleh tangan tirani yang berlumuran darah dari mangsa-mangsa yang diterkam tanpa perlawanan. Rakyat pun jauh untuk melawan, bersuara pun langsung dihabisi tanpa ada proses keadilan hukum yang adil dan beradab.

Habis sudah bangsa ini. negara tetangga menurunkan harga BBM karena minyak dunia turun, di negeri katanya loh jinawi malah naik harga dengan dalil subsidi terlalu tinggi. Padahal pemerintah sendiri mengakui selama ini subsidi kurang lebih hanya 20 persen tepat sasaran dan sisanya tidak tepat. Artinya 80 persen banyak yang bocor!

Lah kenapa tidak tepat sasaran terindikasi bocor, rakyat yang harus menanggung? Lagi-lagi maklum sedang sakit parah. Nalar intelektualnya tidak objektif dan rasional, apalagi benar sangat jauh. Seharusnya dari kebocoran 80 persen dialihkan untuk menutupi beban subsidi, bukan ambil lagi dari rakyat! Makin tidak keruan karena makin emosional logika penyelesaiannya.

Jauh panggang dari api, negeri loh jinawi hanya sebuah slogan manis di bibir. Perut bumi kaya dengan minyak dan gas sekadar ada dalam tulisan data semata. Angka-angka laba rugi menghiasi dinding neraca dan jurnal. Audit sebagai penghias dalam laporan akhir tahun buku yang kaya dengan rekayasa, laba yang seharusnya menyebar ke kantong-kantong sosial yang layak menerima, raib entah ke mana!

Yang jelas banyak kantong saku dan tas para pembajak bermata satu penuh harta. Ternyata hasil mengambil di tengah perjalanan menuju lokasi tempat para penerima, namun setibanya di lokasi kerat-peti sudah tidak berisi harta. Bocor tetap bocor, pembajak tetap pembajak. Rakyat sudah apriori hingga tidak peduli apa yang terjadi, bahkan sudah rela menghadapi kematian tanpa ada energi yang dimiliki. Mari bersaksi bahwa sebenarnya tidak ada subsidi, apalagi peduli. Sebenarnya harta dan kekayaan dalam perut bumi adalah milik kami. (*)

Bandung,  September 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini