Bebas dari Sifat Dendam

0
5
Bebas dari Sifat Dendam. (Ilustrasi Istockphoto)

Oleh: Fathan Faris Saputro, anggota MPI PCM Solokuro, Lamongan

Di sebuah desa kecil yang subur, hiduplah seorang anak petani singkong bernama Bima. Bima adalah anak yang rajin dan selalu membantu ayahnya mengolah ladang singkong mereka.

Setiap pagi, ia berangkat ke ladang dengan penuh semangat, menyiapkan tanah, menanam, dan merawat tanaman dengan penuh ketekunan. Namun, meski hidup sederhana, hatinya sering diliputi rasa kesal karena perlakuan dari temannya, Roni.

Roni adalah anak seorang pedagang kaya di desa itu, dan ia kerap meremehkan Bima karena latar belakang keluarganya. “Singkong tidak akan membuatmu kaya, Bima,” ejek Roni suatu hari, saat melihat Bima membawa keranjang singkong ke pasar.

Hinaan itu membuat hati Bima panas dan terselip rasa dendam dalam dirinya. Ia berjanji dalam hati untuk membuktikan bahwa hidup sebagai petani singkong tidaklah hina.

Waktu berlalu, dan singkong-singkong yang Bima tanam tumbuh subur. Suatu hari, Bima mendengar kabar bahwa keluarga Roni mengalami kesulitan karena usaha dagang mereka bangkrut.

Roni yang dulu sombong, kini tampak lesu dan malu bergaul dengan orang-orang di desa. Melihat keadaan itu, Bima merasa puas karena dendamnya terbalaskan, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Di tengah malam, Bima teringat ajaran ayahnya tentang pentingnya menjaga hati dari dendam. Ayahnya selalu berkata, “Dendam itu seperti api yang membakar dirimu sendiri. Hanya akan membawa kesakitan, bukan kebahagiaan.”

Kata-kata itu membuat Bima merenung, apakah kebahagiaan yang ia rasakan sebenarnya adalah ilusi dari hatinya yang terluka? Dengan penuh kesadaran, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu yang berbeda.

Keesokan harinya, Bima datang ke rumah Roni dengan membawa beberapa keranjang singkong segar. Ia tahu bahwa keluarga Roni sedang kesulitan, dan ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kebaikan.

Roni terkejut melihat Bima datang dengan penuh senyum dan tanpa dendam sedikit pun. “Ini untuk keluargamu, semoga bisa membantu,” kata Bima dengan tulus, menyerahkan singkong-singkong itu.

Perlahan, hubungan antara Bima dan Roni mulai membaik. Roni menyadari kesalahannya di masa lalu dan meminta maaf kepada Bima atas sikap sombongnya.

Bima pun dengan hati besar memaafkan Roni, dan sejak saat itu mereka menjadi sahabat yang saling mendukung. Dendam yang dulu sempat mengakar di hati Bima kini hilang, digantikan oleh perasaan damai dan persahabatan.

Seiring berjalannya waktu, Bima semakin menyadari betapa pentingnya menjaga hati dari rasa dendam. Apa yang dulu dirasakannya sebagai kemenangan, ternyata hanyalah kesia-siaan.

Kini, ia mengerti bahwa kebahagiaan sejati datang dari kebaikan hati dan kesediaan untuk memaafkan. Ladang singkongnya pun tumbuh semakin subur, seiring dengan hatinya yang semakin bersih dari dendam.

Kisah Bima mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang membalas perlakuan buruk, tetapi tentang menjadi pribadi yang lebih baik. Dendam mungkin bisa membalas luka, tapi kebaikan hati mampu menyembuhkan luka itu lebih dalam.

Dengan membebaskan dirinya dari dendam, Bima menemukan kedamaian yang tak tergantikan. Dan di desa itu, ia dikenal sebagai petani singkong yang berhati mulia, bukan karena kekayaan, tetapi karena kebijaksanaannya.

Seiring berjalannya waktu, kebaikan hati Bima mulai dikenal di seluruh desa. Orang-orang melihat bagaimana ia tidak hanya bekerja keras di ladang, tetapi juga selalu ringan tangan membantu tetangga yang membutuhkan.

Ladang singkong yang dahulu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya kini berkembang pesat. Banyak orang yang datang ke Bima untuk belajar cara merawat singkong dengan baik.

Roni yang kini menjadi sahabat dekat Bima juga ikut terlibat dalam pekerjaan di ladang. Mereka bekerja sama mengembangkan pertanian singkong, dan dengan bantuan Roni yang memiliki pengalaman dalam berdagang, mereka berhasil menjual hasil panen ke kota-kota besar.

Usaha ini tidak hanya mengangkat kesejahteraan keluarga mereka, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga desa. Kesuksesan ini diraih berkat kerjasama, bukan karena dendam atau persaingan.

Suatu hari, seorang pedagang besar dari kota mendengar tentang singkong unggulan milik Bima dan Roni. Ia datang menawarkan kerjasama untuk memasok singkong ke pasar yang lebih luas.

Bima melihat ini sebagai kesempatan besar, tapi ia tidak lupa pada akar kesederhanaannya. “Aku ingin setiap orang di desa ini merasakan manfaatnya,” ujar Bima. Pedagang itu pun sepakat, dan hasil kerjasama tersebut mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh desa.

Meskipun hidupnya kini lebih sejahtera, Bima tidak pernah melupakan pelajaran yang ia dapatkan tentang dendam. Setiap kali ia bertemu dengan orang-orang yang meremehkan atau menyakiti hatinya, ia selalu memilih untuk membalas dengan kebaikan.

“Dendam hanya akan mengurung kita dalam gelap,” kata Bima suatu hari pada Roni. “Tapi kebaikan, itu akan selalu membuka pintu menuju cahaya.” Dan begitulah Bima hidup, dengan hati yang ringan, bebas dari dendam, dan selalu penuh dengan rasa syukur.

Bima pun semakin dikenal sebagai sosok yang bijaksana, dan kisahnya menjadi teladan bagi anak-anak muda di desa. Mereka belajar bahwa kekuatan sejati tidak datang dari membalas keburukan dengan keburukan, tetapi dari keberanian untuk memaafkan dan berbuat baik.

Ladang singkong yang dulu hanya simbol kehidupan sederhana kini menjadi simbol keberhasilan yang diraih dengan ketulusan hati. Di akhir setiap hari, Bima duduk di depan rumahnya, memandang ladang singkong yang luas, sambil mengucap syukur atas perjalanan hidup yang membebaskannya dari beban dendam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini