Berita Buruk Bertuah Manis: Menyibak Sisi Lain di Balik Isu Pemilu

0
72
Gambar: www.konfrontasi.com

Oleh: Muhammad Abidulloh

KLIKMU.CO

Isu-isu miring berseliweran pada masa panasnya konstelasi politik, menjadi perhatian yang sangat menarik bagi penganut teori konspirasi. Mereka beranganggapan, terlalu sederhana untuk ditarik sebagai kesimpulan, apalagi ditangkap sebagai penjelasan valid, wajah politik yang sesungguhya.

Isu viral yang berkesan “bodoh” dan sembarangan, seolah telanjang tanpa tabir, semakin sulit dipercaya. Dalam konstelasi panas dan krusial ini, sangat sulit diterima akal sehat, tokoh politik berlaku blunder, yang kontraproduktif.

Emran Navruzbekov, eks intelijen Uni Soviet, menjelaskan, semakin besar tingkat kekeliruan tokoh atau peristiwa, semakin sulit dicari penjelasannya. Justru semakin menantang untuk disibak, apa yang ada di balik tabir. Terlebih bila peristiwanya tampak terang benderang berkesan simpel.

Alexander Emerick, dikenal sebagai “Alex” Jones, seorang penyiar radio, kemudian menulis buku tentang teori konspirasi dan psikologi politik. Pengalamannya sebagai jurnalis mengantarkannya pada keyakinan, “sangat kecil kemungkinan tokoh besar terbuka lebar kekeliruannya di ruang publik atau media luas”.

Pendapatnya, tokoh besar selalu dalam kontrol ketat dalam perilaku, ucapan, dan tindakan. Sebelum terbuka di ruang media, seluruhnya melalui sistem kontrol dan filter ketat dan selektif. Itulah tugas seluruh tim, baik advisor, asisten ahli, juga praktisi komumikasi-media, di ring terdekatnya.

Dalam lingkup nyaris sempurna, tidak masuk akal apabila kesalahan besar terbuka lebar. Telinga publik sangat sulit menjangkau “ruang steril” yang terjaga begitu ketat.

Pertanyaan, fenomena “terpelesetnya lidah” tokoh selalu menantang para ahli dalam penjelasannya. Tak jarang, peristiwa itu baru terjawab seiring berjalannya waktu dan sejarah kemudian.

Kita ingat, komentar Lee Kwan Yu berkenaan dengan tiga tokoh muslim Indonesia. Tiga orang itu, Amien Rais, Gus Dur, dan Nurcholis Majid, yang dikenal terbuka dan blak-blakan dalam ucapan. Dilukiskan mantan Perdana Mentri Singapura itu dengan ibarat buah.

Meski sama-sama berkesan terbuka, tetapi berbeda cara pembacaannya. Nurcholis Majid bagaikan buah yang ketahuan isinya setelah dibuka. Amien Rais ibarat buah yang ketahuan isinya meski belum dibuka buahnya. Yang terakhir Gus Dur. Presiden Keempat RI itu ibarat buah, meski sudah dibuka lebar, isinya membutuhkan penjelasan lebih gamblang.

Itulah gambaran dari peristiwa dan ucapan yang tampak terang benderang. Semua belum tentu jelas, akan gambar wajah sesungguhnya. Karena jati diri asli seringkali tergantung dari kalkulasi, taktik, dan strategi yang melatarbelakanginya.

Aimee Van Cleave, pakar komunikasi politik, menyampaikan teori yang mengejutkan. Tak jarang, kelompok masyarakat atau tokoh menggunakan isu terbalik dalam berkomunikasi. Lebih ekstrem lagi, berita yang berkesan blunder sengaja disebar ke ruang publik. Sudah barang tentu, sudah terkalkulasi dengan baik, efek dan ekses yang bakal terjadi.

Teori itu sekaligus menjadi penjelasan berkenaan berita buruk yang berakibat sebaliknya. Tak jarang “bad news” justru nenimbulkan tuah manis, yang menggembirakan.

Kita ingat peristiwa 11 September yang sangat menggemparkan dunia. Berita begitu kuat, menggambarkan kejahatan umat dan agama Islam. Opini yang berkembang sempat membentuk sikap negatif-antipati publik terhadan Islam dan umatnya.

Ternyata, seiring perjalanan waktu, berita buruk itu berakibat sebaliknya. Dalam survei nenggambarkan, simpati terhadap Islam justru meningkat tajam. Memang, ketika peristiwa itu terjadi, angka simpati masyarakat turun tajam di angka 18% dibanding sebelum 11 September. Mangejutkan sekali, beberapa bulan kemudian, angka simpatik masyarakat justru naik tajam, 34% dibanding sebelum teror hebat terjadi.

Ahli psikologi sosial menjelaskan, peristiwa mengerikan itu justru menggerakkan gairah publik dalam mengetahui Islam. Banyak motif minat mempelajari islam, dari apriori, penasaran, sampai murni studi ilmiah. Kebetulan para pencari kebenaran itu mendapat keyakinan dari penjelasan yang diperlukan.

Fenomena di atas sangat mirip dengan teori Leigh Cowan, pakar Multilevel Marketing asal Australia. Pencari tahu produk adalah prospek yang paling potensial cloosing. Bisa jadi, pencari kebenaran peristiwa 11 September itu kebetulan menjadi klien prospektif yang sangat potensial, dalam mengenal Islam dan ummatnya.

Peristiwa mengerikan itu menjadi pintu gerbang pemicu minat, dari rasa ingin tahu. Mereka membutuhkan penjelasan yang jujur dan komperhensif. Dengan mengenal Islam lebih dekat, diharapkan dapat penjelasan yang lebih baik, latar belakang di balik balik peristiwa yang terlihat.

Teori Cown itu bisa jadi turut menjelaskan akan peristiwa, tergelincirnya lidah ketua partai islam, beberapa waktu yang lalu.

Ketua partai itu berkesan “melecehkan” Islam dalam candaannya. Peristiwa itu, beberapa saat berakibat buruk, pada hasil survei elektabilitas. Tercatat turun hingga 2,8%. Tampaknya, isu itu dapat terkelola dengan baik. Elektabilitas kembali terdongkrak ke atas, di angka 3,2%, beberapa minggu kemudian.

Bocoran dari elit di dalam partai, banyak reaksi yang langsung ditujukan ke dapur partai. Reaksi amarah, umpatan dan sebagian, sekedar pencari kebenaran. Sengaja atau tidak, komunikasi itu terjadi, sebagai yang dilukiskan Cown. Mereka bagaikan Clien prospektif yang potensial, butuh penjelasan lalu diprospek. Tampak tergambar di hasil survei, meningkat tajam. Pihak partai yakin, penambahan, kemungkinan dari ceruk baru yang tak terduga. Patut diduga, berkah “bad news” yang terkelola dengan baik dan benar.

Beberapa hari terakhir, publik disibukkan dengan isu “tergelincirnya” lidah presiden Jokowi. Khalayak publik yakin sebagai peristiwa “telanjang dada”, yang direaksi dengan cara sederhana. Sangat lain apabila dibaca dalam bingkai yang berbeda. Misalnya, pendekatan teori konspirasi, tentu akan menangkap sisi-sisi lain yang mengundang banyak pertanyaan.

Presiden sengaja “keseleo lidah?”. Atau sebaliknya memang “salah ucap”. Perlu analisis lebih tajam dan teliti dalam penjelasannya. Sebaiknya publik lebih bijak dan teliti dalam bersikap agar tidak mudah terkecoh dalam menghadapi fatamorgana politik, yang tidak mudah dipahami.

Apabila sengaja keseleo lidah, keuntungan apa yang didapatkannya?

Apabila salah ucap alami, bagaimana bisa terjadi pada diri tokoh yang terkontrol dan terorganisasi secara baik?

Wallahu a’lam.

Muhammad Abidulloh
Mantan jurnalis

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini