Bermuhammadiyah Total

0
412
Kiai Nurbani Yusuf, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (Foto Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Seorang pengurus yayasan bertanya: “Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?”

“Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji” jawab saya. “Apa benar? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka?”

“Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur.”

“Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?”

“Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah.”

“Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah.”

“Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih
baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yarg berpikir mengurusi Muhammaidyah sebagai profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan.”

Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muhammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh ke pesyarikatan.

Tanggapan Pak AR Fakhruddin
ketika ditanya: ”Itu niat yang baik, tapi ketua PP mau digaji berapa?”

Apalagi kalau gaji itu dikaitkan masa kerja. Semua pimpinan rata-rata sudah aktif sejak masa muda. “Lalu siapa yang mau membayar gaji itu?” kata Pak AR tersenyum.

Pimpinan Muhammadiyah memang bukan karyawan Muhamamdiyah. Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan kelemahan.

Lantas berapa gaji yang anda harapkan saat jadi pimpinan nanti? Atau membayangkan fasilitas, sambutan, eksposur lainnya.

Kembali bertanya: besar mana kira-kira pahala menjadi Ketua PP dan Ketua ranting? Sontak menjawab Ketua PP… ah yang benar?

Bukankah ini Persyarikatan sosial. Bukan perusahaan keluarga atau lembaga ekonomi yang menghitung pendapatan atas dasar kompetensi dan tinggi-rendah jabatan.

Pernahkah antum mendengar, ada pimpinan ranting yang rela menjual tanah warisan untuk melanjutkan pembangunan surau yang puluhan tahun mangkrak. Pimpinan cabang yang menggadaikan sertifikat rumah yang ditinggali untuk membangun sekolah. Pimpinan daerah yang sibuk menjaminkan hartanya untuk kelanjutan rumah sakit, sekolah, atau lainnya.

Kang Parman yang ‘mengendap-ngendap’ sembunyi dari lingkungannya agar bisa jamaah shalat subuh sesuai tarjih, takut bully majikan dan tetangganya. Atau Mbak Yu Riyati yang rajin bawa pisang dan ketela rebus ke masjid depan rumah saat ada pengajian rutin.

Seorang guru yang sabar digaji 200 ribu sebulan dibayar telat, dan pengurus yang bersusah payah mengumpulkan donasi dari pintu ke pintu.

Lantas kenapa kita semua betah? Apa yang kita harap?

Apakah penghargaan dunia? Sanjung puji atau popularitas?

Bukan semua?

Yang kita inginkan adalah negeri akhirat. Negeri harapan. Negeri tujuan. Negeri yang kekal. Perjumpaan dengan Tuhan — itu yang kita harap. Itulah doa-doa kita pada setiap usai shalat. Agar Allah ridha kepada kita —balasan dari Allah jauh lebih mulia. Ridha Allah lebih menentramkan.

Bermuhammadiyah itu, sejatinya kita sedang berebut satu kavling di surga.

Nasihat Rasulullah saw ini saya pikir sangat menarik bahwa: “Sesungguhnya besarnya balasan pahala itu tergantung kepada besarnya ujian yang menimpa dan sesungguhnya Allah itu apabila mencintai sesuatu kaum, maka mereka itu diberi cobaan.”

Ini amanah berat, saya takut salah niat. Jangan pernah lupa: bahwa kita akan dibalas sesuai dengan niat dan amal perbuatan kita. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini