8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Profil

Biografi KH. Muammal Hamidy, Lc. Rochimahulloh

Selasa, 14 April 2015 lalu KH. Muammal Hamidy, Lc., Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, Telah berpulang ke Rahmatulloh. Semoga Alloh SWT menerima seluruh amal ibadah beliau dan mengampuni segala dosa-dosanya.

Berikut ini adalah sekilas biografi, perjuangan, dan kontribusi beliau semasa hidup. Semoga kemuliaan, keberkahan, dan kebaikan selalu untuk beliau tercinta. Allohumma Amiin.

image

Masa Kecil

Muammal Hamidy terlahir di Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong Lamongan, 1 September 1940 silam. Muammal kecil menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar ngaji di langgar. Sejak menginjak usia SD, bersama bocah-bocah desa lainnya, Muammal tidur di langgar.

“Hanya ketika bulan puasa, saya pulang untuk sahur. Setelahnya, ya kembali lagi ke langgar,”

Muammal juga bersekolah di SR (Sekolah Rakyat). Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II 1948, sekolahnya terhenti. Seusai perang, Muammal pindah ke MI yang baru berdiri. Muammal Hamidy pun mulai mengenal dan belajar ilmu alat (nahwu dan shorof). Juga balaghah, fiqh dan muntakhobat (kata mutiara). Di usia ini, Muammal pun mulai belajar pola Kemuhammadiyahan dari pamannya, Mahfudz Ihsan, pendiri Muhammadiyah di Lamongan. Karena itu, Hadits Arbain Nawawi wajib dihafalkannya.

Masa Remaja

Setamat MI tahun 1955, anak ke delapan dari sepuluh bersaudara ini meneruskan studi agamanya ke MTs Tebuireng sambil nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dengan hanya berbekal 3 lembar pakaian dan 2 sarung yang dia bawa dalam tumbu yang terbuat dari daun lontar, ia berangkat mondok. “Karena minim baju ganti, saya kadang hanya mencuci kerahnya saja,” ujarnya sambil senyum dikulum.

Untuk mengirit biaya, Muammal Hamidy memasak sendiri. Dia pun membawa cowek dari rumah dan berbekal banyak ikan asin. “Tapi ikan asinnya tidak digoreng pakai minyak, tapi dibakar pakai lampu teplok,” terangnya. “Wadah makan saya, ya cowek itu,” tambahnya. Bahkan untuk lebih mengirit, dirinya harus makan dengan banyak minum air putih. “Jadi kenyang air, bukan nasi,” selorohnya diiringi tawa.

Selama tiga tahun di Tebuireng, Muammal belajar kitab Tafsir Jalalain kepada Kyai Adlan Cukir. Bersama Kyai Bisri Sansuri, dirinya mendalami kitab Kifayatul Akhyar, Fathul Mu’in maupun Fathul Wahab. Khusus kitab Alfiyah yang mempelajari ilmu Nahwu, dirinya berguru kepada Kyai Tahmid Brebes.

Mengajar di PERSIS

Kakaknya melakukan pendekatan dengan pengurus GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) Bangil. Setelah melihat latar belakang pendidikan Muammal di Pesantren Tebuireng dan kemampuannya dalam membaca kitab kuning, Pemimpin Pesantren PERSIS waktu itu, Ustadz Abdul Kadir Hasan pun bersedia menerima Muammal. “Saya langsung masuk kelas 2,” kata ayah empat anak ini.

Di Pesantren PERSIS, Muammal Hamidy juga bergabung di organisasi P3P (Persatuan Pelajar Pesantren PERSIS) dan pernah menjadi ketuanya. Sebagai Ketua P3P, dirinya pun banyak menjalin komunikasi dan semakin akrab dengan pemimpin pesantren. Seusai merampungkan studinya di Pesantren PERSIS, Muammal langsung ditunjuk untuk mengajar di pesantren putra pada tahun 1963.

Setahun berselang, Muammal mempersunting gadis asal Bangil. Setelah menikah, dia diperbolehkan mengajar di Pesantren Putri. Muammal pun semakin mendapat kepercayaan dari pemimpin pesantren dan diangkat sebagai Sekretaris pesantren.

Belajar ke Mesir

Tahun 1968, M. Natsir, tokoh Masyumi yang baru dibebaskan dari penjara, diundang oleh Raja Faishol, penguasa Kerajaan Saudi waktu itu. Dalam pertemuan itu, Raja Faishol bertanya kepada M. Natsir tentang apa keinginannya.

“Saat itu Pak Natsir tidak minta kekuasaan atau jabatan. Juga tidak menginginkan kekayaan. Beliau hanya meminta agar ada pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa ke Saudi,” ujarnya penuh takjub.

Permintaan itu pun dikabulkan. Muammal menjadi salah satu dari delapan pelajar yang mendapat beasiswa dan ditempatkan di Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawarah (Islamic University Madinah). Muammal lulus tahun 1972 dan berkesempatan melanjutkan studi ke Mesir.

“Tapi Pak Natsir tidak memperbolehkan dan saya harus kembali untuk mengajar ngaji di PERSIS,” tuturnya.

Memimpin Ma’had Aly

Tahun 1984, M. Natsir menggagas berdirinya Pesantren Tinggi yang mencetak kader ulama fiqh.

“Gagasan itu muncul, karena setelah Buya Hamka, Kyai Munawar Kholil Semarang dan Kyai Imam Ghozali Solo meninggal, belum ada penggantinya. Selain itu, Pak Natsir sangat prihatin karena banyak kyai yang mulai meninggalkan desanya dan masuk ke ranah politik”

Maka di tahun itu pula, di Masjid Manarul Islam Bangil, didirikanlah Pesantren Tinggi yang lantas dikenal dengan sebutan Al-Ma’had Aly Lil Fiqh Wa Al-Dakwah. “Dengan menanamkan ruhul ijtihad dan ruhul jihad, diharapkan akan melahirkan kader ulama fiqh yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan di masa depan,” ujarnya. Muammal Hamidy pun ditunjuk menjadi pemimpin (Mudir Ma’had Aly) hingga sekarang.

“Saya terima amanat itu sebagai balas jasa”

image

Isu Kedekatannya dengan Negara Islam Indonesia

Kedekatannya dengan M. Natsir ternyata berbuntut panjang. Sebab sejak keakraban di antara mereka terjalin, Muammal tak jarang dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Bangil pun lantas dianggap sebagai pusat pemerintah Negara Islam Indonesia.

Kakek sepuluh cucu ini beberapa kali sempat ditangkap dan diinterogasi, meski akhirnya dilepaskan sebelum dipenjara akibat dituduh terlibat dengan Kelompok Komando Jihad.

“Hanya karena saya menjenguk paman yang juga dituduh terlibat, saya ditangkap. Semua tuduhan yang dialamatkan kepada saya maupun paman adalah tidak benar”

Maka untuk menetralisir anggapan tersebut, oleh KH. M. Misbach – Ketua MUI Jatim saat itu, Muammal Hamidy lantas dimasukkan dalam jajaran mubaligh di Masjid Al-Falah Surabaya di tahun 1985. Sejak saat itulah, Ustadz Muammal mulai mengisi ceramah di instansi pemerintah maupun lembaga perusahaan. Meski demikian, hal itu sepertinya belum cukup bagi Muammal untuk melepaskan diri dari frame Islam garis keras yang dialamatkan kepadanya.

Suatu ketika, dia bertemu seorang jamaah yang berasal dari perusahaan Freeport Papua. Tertarik dengan ulasan ustadz Muammal, ia pun mengundangnya untuk mengisi pengajian di perusahaan Freeport Papua. Tak disangka, Muammal kena cekal disana. “Saya dilarang berceramah, hanya karena saya dari Bangil,” tukasnya heran. Namun berkat rekomendasi Takmir Masjid Al-Falah Surabaya waktu itu, Mayor Jendral Polisi H. Syamsuri Mertoyoso yang juga seorang Kepala Polda Jatim, Muammal akhirnya diperbolehkan berceramah.

Tentang SDSB

Tak hanya berhenti sampai di situ dirinya berurusan dengan aparat. Sebab Ustadz Muammal pun sempat dipanggil lagi oleh aparat karena terlalu keras memprotes keberadaan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).

“Saat itu saya bilang. Anda tahu judi itu haram dan itu berarti neraka. Anda mau masuk neraka. Saya pun dilepaskan, karena mereka memang tahu itu haram dan tak mau masuk neraka,” seloroh Konsultan Keluarga Sakinah Masjid Al-Falah Surabaya ini.

Tentang Perpecahan Umat

Muammal Hamidy mengaku bersyukur bisa tumbuh dan belajar dalam lintas kelompok agama yang berbeda. Belajar Kemuhammadiyahan di saat kecil, NU di usia remaja, PERSIS saat menginjak dewasa dan Salafi ketika belajar di Madinah. Meskipun pada akhirnya alur pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dirinya sangat menghormati perbedaan pendapat antar madzhab.

“Saya melihat, perpecahan di antara umat Islam yang semakin parah ini, hanya karena masalah furu’iyah yang difanatiki,” ujar mantan Pengurus Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini prihatin.

Maka untuk mengurangi ketegangan itu, dia menyarankan agar umat Islam lebih banyak belajar dan mendalami lagi tentang Muqarranah Fiqhiyah(Perbandingan Madzhab). Di Ma’had Aly Bangil, dia pun mengajari para santri kitab Al-Fiqhul Muqarin (Fiqh Perbandingan). Ustadz Muammal juga mengajarkan kitab Maa laa yajuuzu fiihi al-Ikhtilaf Baina al-Muslimin (Sesuatu yang tidak boleh dipertentangkan) yang dikarang oleh Abdul Jalil Isa, seorang pengajar dari Al-Azhar Kairo.

“Kita perlu mempelajari sabab ikhtilaf, agar tidak terlalu fanatik,” tukasnya. “Beda ya beda, tapi jangan terlalu dipertentangkan. Perbedaan fiqh masih bisa dikompromikan,” tandas Pimpinan Majelis Tarjih PWM Jatim itu. [Ded]

Sumber: jatim1.kemenag.go.id/file/dokumen/297uswah.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *