8 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Opini

Bisakah Melarang Agama?

Nurbani Yusuf, dosen Universitas Muhammadiyah Malang. (Dok Pribadi)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Ini pertanyaaan penting. Pertanyaan awal. Untuk membuka cara pandang. Membuka perspektif. Sekaligus memberi ruang pada setiap yang berbeda tetap hidup berkembang.

Tiap iman punya titik singgung yang berbeda, bahkan ekstrem saling menafikan dan meniadakan. Sebut saja iman Islam menampik semua iman Kristen dkk. Ada ruang di mana kedua iman agama ini bersinggungan ekstrem, bahkan boleh jadi melahirkan sikap radikal. Menganggap Allah punya putra bagi Islam adalah cela, sebaliknya bagi Kristen dkk adalah iman yang didogmakan.

Di India ada Front Pembela Sapi. Orang-orang Hindu garis keras menjaga siang malam agar sapi —yang mereka anggap suci— tak disembelih. Pernah ada seorang pengikut Muhammad saw yang difitnah melakukan itu dan dibunuh. Juga seorang perwira polisi yang mencegah konflik. Saya bayangkan betapa marahnya pengikut Hindu garis keras itu sama dengan geramnya saya ketika nabi Muhammad saw dijadikan kartun atau komik.

Mr Sharma, Imam Besar Front Pembela Sapi di India, hanya tak ingin sapi yang dimuliakan itu dijadikan hewan kurban, disembelih massal, dagingnya dibagi-bagi dan dimakan bareng. Apalagi dijadikan abon yang diawetkan. Mr Sharma dan 70 orang lainnya menangis haru saat melihat hewan piaraan dan tunggangan bathara guru rebah tidak berdaya. Diinjak lehernyaz lalu sebilah pisau menancap, darah muncrat keluar. Hewan mulia itu mati dan direbus.

Menerima perbedaan iman bukan berarti menyetujui apalagi mengimani. Inilah ruang paling krusial dan kerap melahirkan silang sengkarut sebab yang lahir bukan sikap rasional, tapi sikap saling membenci dan musuhan.

Di Rohingya pengikut Muhammad saw diusir dan dibuang. Penganut Buddha garis keras menganggap pengikut Muhammad adalah anjing kurap. Mengusir dan membunuhnya mendapat pahala karena dianggap kebaikan.

Di Eropa pun sama. Setali tiga uang. Di negeri yang katanya modern dan beradab itu juga tidak dewasa ketika menghadapi perbedaan iman. Sering merendahkan dan kacau dalam pikiran. Gemar mencari kambing hitam dan diskriminatif dalam perlakuan. Minoritas kerap jadi korban, dilarang, dienyahkan kemudian dibuang—penganut Islam tentu saja jadi korban.

Dari semua iman yang berserak, konon berjumlah 4.300 iman dengan beragam varian. Saya pikir hanya Islam yang dengan detail memberi perspektif menerima perbedaan dengan benderang. Jadi Islam tak perlu dimoderasi, sebab generik Islam sudah moderat dari awal, bahkan adil dalam perbedaan dibanding iman lain.

Perbedaan iman itu keniscayaan. Jika Tuhan mau akan dijadikan satu umat saja. Tapi dijadikan banyak umat, banyak manhaj, banyak perbedaan agar saling berlomba berbuat bajik. Ini pegangan dan sandaran teologis yang hanya ada pada iman Islam dan tidak pada iman yang lain. Umat Islam adalah sebaik-baik umat, sebab tidak mengingkari perbedaan iman.

Karena menyandang umat terbaik (khairu ummah), maka umat Islam dijadikan sebagai umat teladan. Umat percontohan. Umat pilot project yang terdepan dalam kebaikan dan berbuat bajik. Yang mengajari kepada ribuan agama dalam membuka perspektif dan cara pandang. Pendek kata: umat Islam adalah guru bagi umat lain iman yang jumlahnya ribuan itu.

Sebagai umat terbaik dengan konsep iman terbaik, iman Islam berada pada high level —tingkatan tertinggi dibanding iman lain—Al Islamu ya’lu wala yu’la alaihi. Maka umat Islam berperan sebagai pemberi tarbiyah bagi agama lain yang berjumlah ribuan itu, bukan sebaliknya masuk dalam konflik iman yang tidak ada habisnya. (AS)

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *