8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Hikmah Khazanah

Cerpen Inspiratif: Anak Yatim Sakit-sakitan Bertarung Nasib

Anak Yatim Sakit-sakitan Bertarung Nasib. (Foto Freepik)

Oleh: Abidullah alias Gus Doel
Mantan Jurnalis, dai Muhammadiyah Sawahan

KLIKMU.CO

Sungguh berat yang harus dihadapi Narimo. Belum lama mengadu nasib di Jakarta, kesialan sudah menimpanya. Ke sana kemari mencari pekerjaan, tetapi tak kunjung didapatkannya. Sekali bekerja sebagai kuli bangunan, belum cukup satu bulan, sudah dipecat pula. Padahal, begitu besar harapannya mengadu keberuntungan dan mengubah garis kehidupannya.

Siang itu, perlahan tapi pasti kereta api senja ekonomi mulai bergerak, meninggalkan stasiun Wonogiri. Mata mbok Siyem seolah tak berkedip, memandang kereta yang semakin tampak mengecil. Akhirnya, kereta pun lenyap dari pandangan mata. Sebetulnya terasa begitu berat, ketika terpaksa melepas anak satu-satunya itu. Selama ini, Narimo tidak pernah pergi ke mana-mana. Ke kota Wonogiri pun bisa dibilang sangat jarang. Aktivitasnya hanya sekitar Slogohimo dan tak terlalu jauh dari desanya. Kini, begitu pergi langsung ke tempat yang sangat jauh. Tidak main-main, kota besar Jakarta yang akan dituju, mengadu keberuntungan.

Yang paling membuatnya khawatir, kondisi kesehatan anaknya. Sesak napas bawaan lahir, yang seringkali kambuh. Pikirnya, bila masih di Slogohimo bisa dirawatnya, sewaktu-waktu kambuh. “Bagaimana kalau sudah di Jakarta?”. Demikianlah pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Namun, si janda miskin itu mencoba menepis, untuk menguatkan dirinya sendiri. Dia berharap, agar pamannya yang di Jakarta, dapat melindunginya.

Orang tua hanya bisa berdoa dan bersandar kepada Allah ta’ala,” demikian dicobanya berpasrah diri.

Semalaman dalam perjalanan di kereta api, Narimo begitu gelisah yang luar biasa. Kebimbangan yang hebat sangat mempermainkan perasaannya. Seolah banyak sekali pertimbangan, yang membuatnya ragu, antara terus maju atau mundur teratur. Antara yakin menghadapi tantangan baru atau menerima nasib tetap tinggal di desa. “Siapa yang menemani dan membantu simbok?” demikian pikirnya.

Selama ini, Narimo selalu membantu pekerjaan ibunya. Sepulang dari sekolah, dia mencari kayu di tegalan, sebagai bahan bakar mengolah tempe benguk. Sekalian berangkat ke sekolah, dia mengantar ibunya ke pasar kecamatan, menjual tempe benguk. Narimo juga berusaha mendapatkan penghasilan, demi mengurangi beban ibunya. Kebetulan, tidak jauh dari rumahnya ada tukang servis alat-alat listrik. Sesekali Narimo diminta membantu tetangganya, apabila banyak yang harus dikerjakan. Mungkin, karena Narimo  sekolah STM jurusan elektronika. Hitung-hitung membantu ekonomi, sekaligus memberinya pengalaman hidup.

Tukang servis inilah sebagai penolong, menyelesaikan kesulitan sekolah. Narimo hampir tidak bisa ujian sekolah, masalah tunggakan SPP. Entah dihitung sebagai utang atau bantuan biasa, yang penting dapat mengikuti ujian, mendapat ijazah STM. Baginya, dapat lulus saja sudah untung. Terlalu banyak kesulitan dan keterbatasan, dalam menempuh jenjang pendidikan. Prestasi dan nilai tinggi, tidak pernah dibayangkannya.

Anak yatim-miskin sakit-sakitan itu sampai di ibu kota. Sementara waktu, tinggal menumpang di rumah paman. Kebetulan pamannya dapat dikatakan sudah mapan, dalam ukuran masyarakat kecil-menengah. Sudah sekian tahun, dia bekerja sebagai mandor proyek bangunan. Sang paman membantu keponakan, sebatas kemampuannya. Selebihnya sangat tergantung kepada Narimo, yang  menjalaninya. Bagaimana suratan nasib yang akan menghampirinya. “Hanya gusti pengeran yang akan tahu semuanya,” demikian pikir sang paman.

Berbekal ijazah STM, Narimo mengadu nasib. Tak peduli, nilanya tergolong pas-pasan, bisa dibilang terlalu mepet untuk bersaing. Dicobanya terus-menerus untuk melamar pekerjaan. Entah sudah berapa banyak perusahaan yang dituju. Sudah beberapa bulan di Jakarta, upayanya belum membuahkan hasil. Kondisi itu membuat perasaannya tidak nyaman, merasa menjadi beban. Pamannya pun juga bertambah kasihan, keponakannya  masih dalam ketidakpastian.

Meski sedikit ragu dan berat hati, dicobanya menawari untuk bekerja, sebagai kuli di proyek. Hitung-hitung, mengisi waktu sebelum dapat pekerjaan, sesuai ijazahnya. Narimo pun menerima dengan antusias. Bekerja apa pun pernah dijalaninya, waktu di Slogohimo. Ternyata tidak mudah, pada hari pertama bekerja, anak yatim itu harus pulang pada tengah hari. Tiba-tiba sesak napasnya kambuh, dan membuat sang paman sangat khawatir. Istirahat beberapa hari, anak itu kembali lagi bekerja. Kinerjanya pun kurang memuaskan. Narimo begitu lamban menjalani perannya, sebagai kuli angkut material.  Belum satu bulan bekerja, narimo sudah beberapa kali mengalami sesak napas, dan membuatnya harus istirahat.

Akhirnya, pamannya mengambil keputusan penting. Rasa kasihan dan khawatir membuatnya terpaksa melakukannya. Narimo harus menerima keputusan, dipulangkan ke desa. Sudah barang tentu, dipandang sebagai pilihan yang terbaik. Narimo dianggap tidak sanggup, menghadapi pertarungan kota Jakarta.

Selaras dengan namanya, Narimo yang berarti “menerima”. Dia harus menerima apa saja, nasib yang harus diterimanya. Narimo tidak berdaya melawan keadaan. Tiket kereta sudah di tangan, uang saku untuk sekali perjalanan pulang, sudah diterimanya.

Kurang satu jam,  kereta api ke Wonogiri  segera berangkat. Pada saat yang serba rumit itu, Narimo berada dalam puncaknya kebimbangan. Sangat kuat hatinya untuk melawan keputusan paman. Tetapi, tinggal bersama paman sudah tidak mungkin. Bertahan di Jakarta, entah di mana dia akan tinggal. Apalagi, belum mempunyai penghasilan, sekedar makan sehari-hari. Pulang kampung, artinya mengubur impian. Melanjutkan pertarungan, juga bagaikan belantara yang penuh risiko.

Beberapa menit lagi, kereta segera berangkat, membawanya pulang. Dalam waktu yang kian mepet, Narimo sampai pada  puncak “kegilaannya”. Dia putuskan, tetap  mengejar keberuntungan di Jakarta. Disadari betul,  semua itu tidaklah mudah. Uang saku dari paman, tidak cukup untuk hidup sehari-dua hari di Jakarta. Dicarinya cara, uang yang tidak seberapa itu dapat sebagai modal, awal pengembaraan nasibnya.

Anak yatim itu mendapat inspirasi, dari calon penumpang yang sama-sama menunggu kereta. Salah satu calon penumpang mengaku, hidup di Jakarta  mengandalkan penghasilan, sebagai pengasah pisau keliling. Setiap hari, dia keliling dari kampung ke kampung, menawarkan jasa mengasah pisau. Sesekali memperbaiki perabotan rumah tangga yang rusak. Dengan cara semacam itu, bisa eksis di belantara Jakarta.

Ide itu ditangkap Narimo. Dianggapnya sebagai peluang, untuk memulai kehidupan baru. Mumpung hari masih siang, dia segera pergi meninggalkan ruang tunggu stasiun. Langkahnya menuju ke pasar. Tepatnya di sebelah stasiun Pasar Senen. Dibelinya sebilah pisau dan batu asahan. Dia mulai keliling di sekitar Kemayoran, menawarkan jasanya.

Tak sia-sia dia mencoba. Hari itu, berpihak kepadanya. Jasa asah pisau mulai mendapatkan pasarnya. Sebagai pemain baru, penghasilannya tergolong lumayan. Setidaknya, modal yang dikeluarkan hari ini, sudah kembali. Itulah yang membuatnya lebih semangat, meskipun harus menghadapi kepahitan hidup.

Anak sakit-sakitan itu memilih istirahat dan tidur di dekat kamar mandi, mushola Pasar Senen. Udara malam dan amukan nyamuk, menjadi teman akrab. Kesehatan yang seringkali naik-turun, tidak membuatnya menjadi lembek. Hari-hari yang keras dan melelahkan, dijalaninya tanpa mengeluh. Cita-cita membahagiakan ibunya, menjadi pelecut yang kuat untuk bertahan. Bertahan dalam semangat pasang surut, datang dan pergi.

Waktu berjalan semakin jauh. Nasib Narimo, terlihat kian membaik. Hari ke depan di Jakarta, seolah mulai menemukan bentuknya. Dia semakin banyak mendapatkan pelanggan. Bukan hanya sebagai pengasah pisau, tetapi juga tukang servis. Keandalannya dalam servis elektronik mulai dikenal luas. Pelanggan emak-emak kampung, menjadi saran promosi yang jitu.

Tabungannya sudah cukup untuk mengontrak tempat tinggal. Meski kecil, tetapi nyaman dan cocok untuk tempat usaha, sebagai tukang servis. Perlahan tapi pasti, keliling kampung mulai ditinggalkan, dan akhirnya berhenti. Pekerjaan servis sudah semakin padat kedatangan pelanggan. Anak yatim itu semakin survive. Dia mulai memberanikan diri, melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.

Roda nasib benar-benar sudah berubah. Pangkalan servis yang kecil tumbuh begitu pesat. Kini  menjadi service center ternama. Lokasinya pun di tempat yang sangat strategis, jalan protokol di kota Depok. Lain dulu lain sekarang. Anak desa yang tak diperhitungkan itu menjadi orang terpandang, Bisa disebut pengusaha yang sukses.

Dia berhasil menggapai harapan, membahagiakan ibunya. Sekian lama, serangkaian kesulitan menderanya. Kerap kali berhadapan dengan kebimbangan dan ketakutan, untuk mengambil risiko. Berkat tekad kuat dan doa, semuanya dapat dilalui,  penuh kesabaran. Doa ibu menggema membelah langit. Mengetuk pintu tabir, menguak harapan. Doa itu menancap begitu berkesan, masuk ke lubuk hati  yang paling dalam. Doa seorang ibu benar-benar berubah menjadi api  semangat yang membara. Sprit hidup tak pernah padam. Anak miskin itu berhasil menanggapi harapan. Anak sakit-sakitan itu pantang menyerah. Anak yatim itu patuh dan tawaduk dalam ketulusan.

Diadaptasi dalam bentuk tulisan oleh Gus Doel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *