Oleh Ferry Is Mirza
KLIKMU.CO – Dua hari, Sabtu dan Ahad lalu, dua sahabat saya berduka. Keduanya ikhlas dan bangga kehilang dua orangtua yang dihormati.
Sahabat yang di Surabaya berduka karena neneknya berpulang diusia 104 tahun. Sedangkan sahabat yang tinggal di ibukota (bukan IKN) mengikhlaskannya ibundanya berpulang ke rahmatullah di usia 90 tahun.
Kedua almarhumah –yang penulis tahu, dari kisah cucu dan anaknya– adalah anggota Aisyiyah. “Beliau mendidik dan belaian kasih sayang. Tak pernah marah, meski anak cucunya berbuat salah,” begitu tutur kedua sahabat yang intinya bermakna sama.
Dari situ, nampaklah bahwa ketauladanan yang dikedepankan. Hal itu juga penulis rasakan saat usia bocah hingga remaja bahkan saat dewasa. Dimana, kedua almarhum dan almarhumah orangtua penulis mendidik dengan luarbiasa. Diajar tentang akidah, ahklaq dan adab (menghormati) sesama manusia.
Itulah, yang penulis petik dari hasil didikan sejak Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Menengah Pertama hingga Menengah Atas, di dalam keluarga yang mengedepankan motto Fastabikul Khairat.
Alm Gus Dur pernah berkelakar: Muhammadiyah itu kaya raya, tapi pengurusnya miskin-miskin.
Sedangkan Carl Whiterington, peneliti senior Amerika, menulis, Muhammadiyah adalah organisasi yang diberkati.
Muhammadiyah itu lahir jauh sebelum NKRI berdiri (1912).
• Bikin RS (rumah sakit) sebelum ada Kementerian Kesehatan.
• Bikin sekolah dari PAUD hingga perguruan tinggi sebelum ada Kemendikbud.
• Juga bikin Panti Asuhan sebelum ada Kementerian Sosial.
• Mendirikan Baitul maal dan Lembaga Zakat sebelum ada Kementerian Keuangan.
Sebab itu jika ada yang bilang bahwa Muhammadiyah kenyang saat Orde Baru, itu tuduhan keji dan serampangan. Sebab kami (Muhammadiyah) diajari untuk memberi, bukan diberi.
Para pimpinan dan ulama kami tak pandai bikin proposal. Apalagi menjilat ke para pejabat untuk dapat proyek.
Kami urunan bikin masjid, sekolah, universitas dan RS.
Setelah besar, kami berikan untuk Persyarikatan Muhammadiyah.
Semua amal usaha yang kami punya bukan milik para pimpinan, pengurus, atau bahkan ulama, tapi milik Persyarikatan.
Tidak ada yang Dimiliki Pribadi yang bisa diwariskan kepada anak cucu.
Meski begitu, kami tidak menutup diri. Setiap pemberian baik dari pemerintah atau siapapun kami terima dengan senang hati sebagai amanah.
Kami juga bikin proposal secukupnya, membuka ruang bagi siapapun untuk sumbangan sepatutnya, tidak berlebihan atau memaksa-maksa sambil menakar jasa.
Meski terdaftarkan sebagai organisasi modern, sesungguhnya kami tetap konvensional secara generik.
Tetap bersahaja, sederhana dan apa adanya. Merawat urunan, silaturahim, dan kajian-kajian sederhana. Itu salah satu rahasia kenapa Persyarikatan kami tetap survive meski berbagai hambatan menghalang.
Banyak pengamat terkagum-kagum dengan gerakan yang digagas Kiai Dahlan 109 tahun silam ini.
Mereka mengira banyaknya perguruan tinggi atau rumah sakit bertaraf internasional, ribuan masjid dan sekolah-sekolah yang bertebaran di seluruh nusantara adalah hasil dari minta-minta atau sokongan rezim.
Itu keliru besar.!!!
Tak ada bantuan asing atau sokongan rezim.
Taruhlah bila ada sangat sedikit sekali.
Muhammadiyah juga tak pernah mengambil hak orang lain.
Tidak pernah mengambil masjid, mushala atau menyerobot tanah orang lain.
Kami diajarkan bersahaja dan memberi, bukan mengambil dengan jalan paksa.
Muhammadiyah tetap autentik. Meski prestasi tak lagi bisa diukur.
• Alm Pak AR Fachrudin, Ketua PP Muhammadiyah, masih jualan bensin eceran. Naik motor Yamaha butut.
• Pak Amien Rais muadzin reformasi itu masih tetap bersahaja dan istiqomah menyuarakan demokrasi.
• Alm Buya Syafi’i Maarif masih biasa jalan kaki ke masjid depan rumah, naik bus, dan antre nunggu giliran.
• Prof Haedar Nashir naik kereta api dan duduk di serambi masjid khusyu mendengar khotbah Jumat dari jamaah akar rumput tanpa rasa canggung.
• Tak ada kisah dramatik yang heroik atau kisah buih penuh kata dusta. Ulama kami bersahaja.
• Tak ada yang berkaromah.
• Hampir semua ulama Muhammadiyah bersahaja, memakai pakaian yang sama, makan di meja yang sama, minum pada gelas yang juga sama, tak ada yang istimewa, kendaraan yang sama tak butuh pengawalan atau penjagaan dan perlindungan berlapis.
• Juga tak butuh pembelaan karena hujatan atau celaan dari yang tak suka.
• Tak butuh buzzer atau influencer agar populer, juga tak butuh follower untuk menaikkan reputasi.
* Alumnus TK-SD Attarbiyah dan SMP Perguruan Mujahiddin Perak Surabaya serta SMA Adabiyah Padang, Wartawan Utama, Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim.
1 Comment