13 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Buletin Ad-Dakwah Kajian Opini

Derajat Hadits Mendahulukan Tangan ketika Turun Sujud

oleh: Ust. Imanan, S.Ag.)*

Muqoddimah: QS. an-Nisa’ ayat 59.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

image

Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas hadits mendahulukan tangan ketika turun sujud. Kami memandang bahwa ada sedikit permasalahan yang perlu untuk kami jelaskan berkenaan dengan hadits tersebut, sebab secara dzohir hadits tersebut terdapat keterbalikan.

Para ulama hadits juga ada yang mempermasalahkan hadits tersebut, sebagian ada yang memandangnya sebagai hadits maqlub (terdapat keterbalikan) dalam matan (susunan kalimat). Sebagian lagi memandang bahwa hadits tersebut adalah benar dan tidak terdapat keterbalikan dalam susunan teksnya. Sebagian lagi memandang bahwa hadits mendahulukan tangan tatkala turun sujud bertentangan dengan hadits yang lain, yang memerintahkan untuk mendahulukan dua kaki daripada kedua tangan.

Perbedaan tersebut seiring dengan cara pandang yang berbeda, sebagian melihat pada dzohir kalimat, sebagian lagi menggunakan takwil sehingga hadits tersebut tidak terlihat ada keterbalikan (maqlub). Demikian juga dalam masalah idhtirob dalam susunan teks hadits tersebut dengan hadits yang lain.

Dalam kajian ringan ini kami akan berusaha menjelaskan sedikit tentang permasalahan tersebut, dan kami akan sertakan keterangan-keterangan dan akan kami akhiri dengan sebuah kesimpulan ringan. Semoga bermanfaat bagi kami secara pribadi dan pembaca yang budiman.

Teks hadits mendahulukan tangan ketika sujud.

وروي عن عبد العزيز الدراوردي ، عن محمد بن عبد الله بن حسن ، عن أبي الزناد ، عن الأعرج ، عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير ، وليضع يديه قبل ركبتيه {أخرجه البيهقي في معرفة السنن والآثر ورواه أيضا أبو داود والنسائي والترمذي وأحمد والدارمي والدارقطني والبغوي في شرح السنة كلهم من طريق محمد بن عبد الله بن حسن عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة.}

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabada: apabila salah seorang diantara kalian sujud (dalam sholat), maka janganlah kalian turun seperti seperti turunnya onta untuk duduk. Maka hendaklah kalian mendahulukan kedua tangan sebelum kedua kaki.

Imam al-Bukhori meriwayatkan hadits tersebut dalam at-Tarikh ul-Kabir, dan mengatakan dalam sanad hadits tersebut ada ilat (cacat) dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan. Imam at-Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut adalah ghorib. Imam ad-Daruquthni berpendapat bahwa Abdul Aziz ad-Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut.

Bisa kita dapatkan teks hadits tersebut dengan beberapa perbedaan kalimatnya. Adapun secara jelasnya teks yang berbeda tersebut adalah sebagai berikut:

1. (إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ البعيرُ (أحمد ، وأبو داود ، والنسائى ، والبيهقى الدارمى عن أبى هريرة

2. (إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ الجملُ (أخرجه البيهقى والدارقطني والنسائى وأحمد عن أبى هريرة

3. وفي مسند أبي يعلى وابن أبي شيبه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ، وَلا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْفَحْلِ

Perbedaan yang pertama adalah terletak penggantian kata ba’ir dan jamal yang berarti onta, yang dapat kita jumpai dalam hadits lain dengan lafadz fahl yang berarti kuda jantan.

Illat (cacat) dalam sanad hadits

Imam al-Bukhori, imam at-Tirmidzi dan ad-Daruqudni berpendapat ada cacat dalam sanad hadits tersebut. Dalam sanad hadits tersebut ada seorang rowi bernama Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan.

Imam al-Bukhori dalam at-Tarikh ul-Kabir mengatakan tidak mengetahi apakah Muhammad bin Abdulla bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az-Zinad. Pendapat imam al-Bukhori tersebut didasarkan pada salah satu syarat yang ditentukanya dalam menerima hadits bahwa seorang rowi benar-benar bertemu gurunya, dan tidak cukup bahwa seorang rowi satu masa dengan gurunya.

Sedangkan imam at-Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut tergolong ghorib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.

Pendapat Imam al-Bukhori tentang Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan bukanlah merupakan jarkh (celaan), sebab beliau sedikitpun tidak memberikan komentar atas kepribadian Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan. Beliau hanya menyangsikan kebertemuan antara Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan dengan gurunya – Abu az-Zinad.

Keraguan Imam al-Bukhori tersebut dapat ditepis dengan melihat riwayat hidup Muhammad bin Abdullah al-Hasan.

Imam an-Nasai berependapat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan adalah seorang yang tsiqoh. Abu az-Zinad wafat pada tahun 130 H, sedangkan Muhammad bin Abdullah al-Hasan wafat pada 145 H, dan pada saat itu beliau berusia 45 tahun, jadi sangat memungkinkan sekali Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan bertemu dengan Abu az-Zinad. Dan yang demikian adalah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh imam MuslimMu’ashoroh– (pernah sezaman).

Imam ad-Daroqothni berpendapat bahwa rowi yang bernama Abdul Aziz ad-Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut. Imam Ahmad berpendapat tentang Abdul Aziz ad Darowurdi ”jika ia meriwayatkan dengan hafalanya, ada keraguan.” Sedangakan Abu Zur’ah berpendapat bahwa ia adalah orang yang termasuk buruk hafalanya. Namun Yahya Ibn Main dan dan Aly al-Madini keduanya berpendapat bahwa Abdul Aziz ad-Darowurdi adalah seorang yang tsiqoh.

Oleh karena itu riwayat seorang rowi yang memungkinkan ada kesalahan dalam hafalanya dibutuhkan orang lain meriwayatkan hadits serupa sebagai bukti bahwa tidak ada kesalahan dari hadits yang diriwayatkan oleh orang yang kurang baik hafalannya.

Pendapat akan kesendirian Abdul Aziz ad-Darowurdi dalam meriwayatkan hadits ini terbantah. Bahwasanya ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut selain Abdul Aziz ad-Darowurdi. Ia adalah Abdullah bin Nafi’ dalam riwayat an-Nasai dan Abu Daud.

Wal hasil, pendapat sebagain ulama seperti Imam al-Bukhori tentang adanya ilat dalam sanad hadits tersebut karena keberadaan rowi yang bernama Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan, yang Imam al-Bukhori tidak merasa yakin akan kebertemuanya dengan Abu az-Zinad, bukanlah sebuah bentuk jarkh terhadap Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan. Bahka jika dilihat dari kurun waktu masa hidupnya dan masa hidup Abu az-Zinad, telah bisa disimpulkan adanya kemungkinan kuat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan bertemu dengan Abu az-Zinad, sedangkan yang demikian – Mu’asharoh– telah memenuhi syarat shohih sebuah Hadits dalam pandangan imam Muslim.

Sedangkan kesendirian Abdul Aziz ad-Darowurdi, dalam meriwayatkah hadits tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh ad-Daruquthni, dijawab oleh ulama yang lain bahwa ada orang lain yang meriwayatkan selain Abdul Aziz ad-Darowurdi yakni Abdullah bin Nafi’. Oleh sebab itu maka hadits tersebut dapat dihukumi sebagai hadits shohih sebagaimana pendapat Nashiruddin al-Bani dalam irwa ul-gholil, atau hadits hasan dikarenakan selamatnya para rowi dari cacat yang mengakibatkan ke-dhoif-an hadits. Dan ada juga ulama menilai hadits tersebut dhoif.

Kesimpulan

1. Hadits mendahulukan tangan ketika turun sujud adalah hadits ghorib/aneh (ahad).

2. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits tersebut, ada yang mempermasalahkan derajat ke-shahihan-nya.

3. Jika ada hadits diperselisihkan/dipermasalahkan derajatnya, maka yang berlaku kaidah:

الجرح مقدم على تعدل

Yang mencacat (menilai dhoif) didahulukan dari pada yang menshahihkan

4. Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah mendahulukan tangan ketika turun untuk sujud.

5. Madzhab Maliki dan al-Auzai, demikian pula Ibn Hazm berpegang mendahulukan tangan ketika sujud.

6. Sedangkan madzhab iman Abu Hanifah, at-Tsauri, Ibn Sirin , as-Syafii, Ahmad, Ishaq ibn Rohawaih, memilih lebih mendahulukan lutut, dan cara ini menjadi pilihan Muhammadiyah (HPT kitab Shalat).

7. Imam Ahmad dalam sebuah riwayat cara turun sujud tersebut adalah mukhoyyar. (bebas memilih).

Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

والله أعلم بالصواب

Lihat Takhrij hadits tersebut dalam al-Muharor fi al-hadist oleh ibn Qudamah al-Maqdisei yang telah ditakhrij haditsnya dalam ad-Durar fi takhrij al-Mukharor no. hadits 239

)* Penulis adalah Wakil Ketua Bid. Pengembangan Cabang & Ranting, PDM Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *