Di Muhammadiyah Tidak Ada Tradisi Saling Mengejar Jabatan

0
28
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi berbicara tentang “Menunaikan Amanah Kepemimpinan: Refleksi untuk Pemimpin Negeri” pada Kajian Ramadhan di Umsida. (Humas Umsida/KLIKMU.CO)

Sidoarjo, KLIKMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi memberikan keynote speech bertema “Menunaikan Amanah Kepemimpinan: Refleksi untuk Pemimpin Negeri” dalam Kajian Ramadhan 1445 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Sabtu (16/3/2024).

Prof Haedar mengatakan, kepemimpinan itu dimulai dari personal atau diri setiap orang. Hal itu sudah menjadi sudah menjadi state of mind individu.

“Jika setiap warga bangsa kita punya karakter kepemimpinan yang sadar akan tanggung jawab, saya yakin akan terjadi transformasi besar-besaran di dalam format bangunan dan peran kepemimpinan di negeri tercinta ini,” ucapnya.

Level Pemimpin 

Setelah menumbuhkan jiwa kepemimpinan dalam diri sendiri, sikap itu terus tumbuh ke level berikutnya, yakni kepemimpinan dalam keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari negara yang lebih terstruktur.

Di lingkup keluarga inilah terdapat pesan penting terutama bagi laki-laki. Dalam keluarga, tanggung jawab memimpin adalah menafkahi dan mencari nafkah. Bukan menjadi representasi kepemimpinan di level atasnya. 

“Dinamika mengelola rumah tangga itu nggak gampang, apalagi bagi pemimpin keluarga padahal kontrak, mitsaqan ghalidza. Tapi dinamika dan tantangannya tidak mudah. Selain level individual, kesuksesan orang bisa memimpin itu juga tergantung pada keluarga dan masyarakat,” lanjut Haedar.

Lalu, tingkat kepemimpinan selanjutnya berada di lingkungan masyarakat. Kepemimpinan di ranah ini terbagi menjadi beberapa aspek seperti memimpin sebuah desa, dan seterusnya. 

“Secara teologis, kekhalifahan umat Islam di Indonesia memiliki konsep ukhuwah. Tapi realitas sosiologis ternyata ukhuwah itu mudah di dalam tulisan, tetapi tidak mudah di dalam tindakan. Karena pada akhirnya, orang itu sering tidak bisa melepaskan kepentingan-kepentingan duniawi yang itu menjadi kepentingan primitif manusia,” tutur guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.

Tugas Kepemimpinan Islam Lebih Berat

Haedar mengatakan, tugas kepemimpinan dalam perspektif Islam jauh lebih berat.

“Mungkin kalau pemimpin sekuler itu urusannya kan urusan dunia saja. Kalau pemimpin dalam perspektif Islam, yaitu dunia akhirat,” tegasnya.

Hadits nabi menurut Imam Al Mawardi dalam Kitab Al Ahkam Al Sulthaniyah mengatakan bahwa bahwa kekhalifahan dalam Islam itu adalah proyeksi dari fungsi kerisalahan nabi.

Apa saja risalah nabi itu? Prof Haedar menjelaskan, risalah nabi itu seperti membangun peradaban umat manusia secara utuh. Untuk menunjukkan bahwa manusia berbeda dari yang lain, ketika semakin maju dia harus tetap punya peradabannya.

“Banyak bangsa yang peradabannya rusak dimulai dari pemimpinnya sampai rakyat. Membangun keadaban dalam makna yang luas al akhlak al karimah itu tanggung jawab dan risalah Islam,” tuturnya.

Kedua, nabi juga diutus oleh Allah SWT dengan simbol pembuka wahyu iqro bismirabbikalladzi kholaq. Kata iqro inilah yang menjadi kunci dan pembuka sebuah peradaban.

Lalu yang ketiga, nabi diutus untuk menebar rahmat bagi semesta alam.

“Jadi kepemimpinan dalam Islam dengan semangat nilai-nilai Islam itu setidaknya ada tiga proyeksi penting yang harus ditunaikan. Berarti kalau melihat seperti itu, jadi pemimpin di lingkungan umat Islam itu berat. Dan alhamdulillah di Muhammadiyah itu tradisinya bagus. Tidak saling mengejar jabatan,” tegasnya.

Kemudian, ia menjelaskan tentang tradisi kepemimpinan di lingkungan Muhammadiyah. Di persyarikatan ini, ia menekankan agar tidak mengejar jabatan, tapi ketika jabatan itu diamanahkan, ambil dan tunaikan dengan baik.

“Jadi tidak masuk pada jabariyah, tapi juga tidak qadariyah, apalagi qadariyah yang serbabebas,” tandasnya.

(AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini