Di UII, Haedar Nashir Bicara Suksesi Kepemimpinan Nasional

0
17
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar menjadi narasumber dalam Kuliah Umum Keislaman dan Kebangsaan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. (Facebook Haedar Nashir)

Yogyakarta, KLIKMU – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar menjadi narasumber dalam Kuliah Umum Keislaman dan Kebangsaan yang digelar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII). Acara bertajuk “Suksesi Kepemimpinan Nasional: Mencari Pemimpin yang Nasionalis dan Agamis” itu berlangsung pada Kamis (7/9) di Auditorium Gedung FH UII..

Dalam paparanya, Haedar Nashir menyampaikan tentang ijtihad ulama pada masa lampau dalam membentuk konsep bernegara dalam Islam dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi.

“Muamalah duniawiyah, termasuk dalam politik berbangsa dan bernegara, sepenuhnya adalah wilayah ijtihad. Bahkan sistem politik Islam itu sendiri sebenarnya sepenuhnya wilayah ijtihad, baik karena ajaran Islam hanya bersifat mujmal,” tutur Haedar.

Hal ini, menurut dia, dapat ditelusuri dari sistem politik berbagai negara Islam dan mayoritas muslim, seperti kerajaan hingga republik. Adapun kasus di Indonesia, secara historis, umat Islam berkompromi dalam merumuskan dasar negara demi terciptanya peradaban yang kosmopolit.

“(Maka) lahirlah Piagam Jakarta, dengan tujuh kata, lalu terjadi perdebatan lagi, lalu lahir kompromi yang dipelopori oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo, yang waktu itu Ketua PP Muhammadiyah yang mewakili aspirasi dari tokoh-tokoh Islam untuk mencari titik temu,” terang Haedar.

Haedar juga menyinggung soal perdebatan antara nasionalisme dan agama yang tampak terus diawetkan. “Tidak lagi ada dikotomi apabila menciptakan posisi diametral antara agama dan nasionalis. Justru yang paling penting adalah bagaimana mengintegrasikan keagamaan, keislaman, dan nasionalisme, sekaligus memberi makna substantif pada nilai keislaman dan kenegarawanan,” tuturnya.

Mengutip Bung Karno, Haedar menuturkan bahwa paham nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme yang moderat. “Nasionalisme Indonesia, sebenarnya kalau kita simpulkan, adalah nasionalisme tengahan yang tidak terjebak pada chauvinisme. Nasionalisme moderat yang pada saat yang sama, nasionalisme itu merangkul semua dalam keragaman dan jangan Indonesia menjadi satu golongan, satu orang, atau satu kekuatan saja,” terangnya.

Haedar pun yakin banyak tokoh yang memiliki kerangka kebangsaan dan keagamaan yang baik. “Ini perlu dimasifkan. Bahwa orientasi politik kebangsaan, keagamaan, dan segala nilai-nilai kenegarawanan itu harus menjadi state of mind para elite warga dan bangsa,” tegasnya.

Haedar juga mengungkapkan kecemasannya soal perubahan prinsip-prinsip yang disepakati para founding father negara yang berupaya memisahkan sumbangsih agama dari tatanan kebangsaan.

“Apakah kita perlu melakukan reorientasi tentang pentingnya membangun rohani bangsa, akal budi bangsa? Lebih-lebih tentang agama. Bahwa Indonesia seperti ini termasuk ada karena sumbangsih agama dan umat beragama. Justru kita tidak menyebarkan pemikiran yang menegasikan agama dan menempatkan agama sebagai terdakwa dari sumber segala masalah kehidupan kebangsaan,” paparnya.

Haedar juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai konsepsi ekonomi kerakyatan yang makin redup, seperti hadirnya kekuasaan sekelompok orang atas kekuatan ekonomi. Politik kita pascareformasi berjalan begitu liberal. Lalu liberalisasi politik itu melahirkan politik transaksi atau politik uang. Atau penyalahgunaan kekuasaan untuk pemenangan pemilu di setiap tahapan.

“Apakah itu tidak terjadi dan berlawanan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para pemimpin bangsa?” tanya Haedar.

Selain itu, Haedar juga menyinggung sejumlah undang-undang di DPR yang banyak ditentang namun tetap disahkan. Hanya karena mayoritas di DPR menghendaki itu.

“Kita bertanya, apa itu tidak sejalan atau mungkin bertentangan dengan sila keempat? Dalam demokrasi Indonesia, mestinya juga ada hikmah bijaksana. Ada musyawarah, bukan menang-menangan,” pesannya. “Jangan-jangan bahwa kita merasa nasionalis tentang prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia itu jauh panggang dari api,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Buya Haedar menjelaskan, proses suksesi yang mestinya dianggap biasa sebagai regulasi politik yang rutin. Ia menerangkan sejarah Indonesia pascareformasi yang telah mengalami lima masa pemilu yang mestinya menjadi momentum untuk mematangkan diri secara politik.

“Tidak perlu gontok-gontokan sampai kita berlawan-lawanan secara diametral. Menggelorakan permusuhan, kebencian. Apa tidak cukup lima kali pemilu untuk membuat kita dewasa? Terlalu mahal harganya kalau pemilu itu lalu mengorbankan persatuan, mengorbankan daya nalar kita, mengorbankan kepentingan-kepentingan besar,” pesannya.

Masyarakat, terutama anak muda, pun diharapkan agar tidak bersikap apatis. “Seiring dengan perkembangan zaman, apalagi sekarang mayoritas itu banyak kaum muda, mestinya harus ada kesadaran politik baru lahir. Memilih karena kecerdasan, memilih karena ilmu, atau dengan ilmu,” tuturnya.

Di akhir, Haedar berharap kekuasaan kelak tidak disalahgunakan dalam menyongsong pemilu. “Kita yakin Pemilu 2024 harus menjadi tempat bagi kita untuk makin dewasa dan tidak terus mencoba-coba. Dan jadikan pemilu ini sebagai jalan panjang kita membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” pungkasnya. (AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini