21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Pilihan Editor Wawancara

Dicontohkan Figur Publik, Nikah Beda Agama Khawatir Jadi Tren dan Semakin Terbuka

Prof Dr Syamsul Arifin MSi, sosiolog agama yang juga Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, memberikan pandangannya soal nikah beda agama. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

KLIKMU.CO

Beberapa waktu yang lalu sempat viral pernikahan beda agama, baik di media massa maupun media sosial. Berita itu bisa viral dan dibicarakan banyak warganet tak lain karena pelakunya seorang pesohor atau figur publik.

Ya, dia adalah seorang stafsus milenial presiden, Ayu Kartika Dewi, yang notabene beragama Islam menikah dengan Gerarld Sebastian yang beragama nonmuslim atau Kristen. Perniakahan mereka langsung menyedot perhatian karena dilakukan dua kali: di hotel dengan prosesi akad nikah Islam dan berikutnya pemberkatan di gereja.

Banyak yang bertanya-tanya, bahkan memberikan pendapat, bahwa menikah beda agama seperti itu tidak sah. Baik dalam agama Islam itu sendiri maupun oleh negara. Lantas, bagaimana sisi positif dan negatifnya pernikahan beda agama dan apa dampaknya fenomena ini ke depan?

Kali ini editor KLIKMU.CO Achmad San berkesempatan melakukan wawancara langsung dan eksklusif via telepon dengan Prof Dr Syamsul Arifin MSi, seorang sosiolog agama yang juga Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (23/3/2022) malam. Bagaimana pendapat tokoh Muhammadiyah yang juga guru besar bidang sosiologi agama tersebut memandang fenomena ini?

Menikah beda agama, sah atau tidak menurut aturan, Prof?

Menurut aturan keabsahan nikah beda agama, sesungguhnya saya tidak dalam kapasitas menjawab. Yang paling tepat menjawab ahli fikih. Tetapi, saya mencukupkan kepada pendapat muhammadiyah melalui majelis tarjih atau juga fatwa MUI yang memang mengapresiasi pandangan Muhammadiyah dan MUI yang melarang atau mengharamkan pernikahan beda agama. Lebih-lebih yang perempuan dalam posisi beragama Islam, sementara yang laki nonmuslim. Meskipun jika laki-laki muslim perempuan nonmuslim ada yang berpendapat membolehkan.

Tapi, saya mencukupkan pada pendapat Muhammadiyah dan MUI dalam kasus ini.

Bagaimana jika dilihat dari sisi sosialnya?

Yang menarik dari sisi sosial. Ini sebenarnya persoalan lama. Sudah fenomena lama yang memang susah dihalangi. Karena sudah menyangkut dua insan yang terpaut cinta dan segala macam. Maka kemudian mereka mencari pembenaran. Seperti pada stafsus yang satu tadi. Ada dua prosesi secara Islam dan pemberkatan. Tentu saya melihat “pelaku” ini ingin mendapatkan basis legitimasi. Dia merasa secara agama sah dan ditambah perspektif orang-orang yang mendukungnya.

Sekali lagi, saya memandang mereka ini ingin mencari basis pembenaran. Terutama dari sisi keagamaan maupun sisi sosial bahwa apa yang mereka lakukan benar menurut perspektif mereka. Karena pernikahan itu mendapat support dari banyak orang. Karena seorang stafsus, kasusnya menjadi heboh. Saya kira nanti sudah banyak yang melakukan begitu karena contohnya ini seorang pemengaruh.

Apa dampak fenomena ini ke depan?

Mungkin (pernikahan beda agama, Red) akan semakin terbuka karena pernah dilakukan pemengaruh. Karena dulu kan diam-diam. Tapi sekarang ini sudah viral. Sehingga nanti ke depan akan semakin terbuka orang menikah beda agama. Sebab, namanya fatwa kan legal opinon. Bisa diikuti dan bisa tidak. Ke depan akan terus bermunculan karena dilakukan orang populer dan pemengaruh.

Sisi positif dan negatifnya menurut pandangan agama maupun sosiologis?

Memang ada satu analisis sebaiknya dihindari (nikah beda agama) karena berpotensi berdampak negatif. Tapi memang tergantung bagaimana kedua belah pihak. Ada yang fine-fine aja, tapi juga seagama ada perceraian.  Tapi, pooinnya kan mengapa kemudian dari sisi agama agak “keras” terkait persoalan ini. karena dianggap potensinya lebih besar karena beda agama. Soal nanti ke depan bagaimana. Misalnya anaknya mau ikut ibu atau bapaknya. Seagama saja agak ruwet, apalagi beda agama. Ada potensi kelanjutannya itu.

Kira-kira kalau yang nonmuslim mualaf bagaimana?

Ada beberapa kemungkinan. Agama proses menjadi, state of becoming. Maka muncullah pindah agama. Bisa karena perkawinan, bisa juga karena faktor lain. Bisa jadi kedua-duanya, mualaf atau murtad. Ini proses sosiologis. Sudah banyak kasus. Istri pesohor atau suami pesohor bisa gitu. Apakah ketika nikah islam itu apakah dia sudah mualaf. Problemnya ketika nikah.

Nah, dua kali akad nikah ini juga menarik. Orang-orang tarjih Muhammadiyah dan batsul masail NU atau MUI harus menjelaskan. Mestinya begitu akad nikah Islam, harusnya selesai. Ini menjadi baik atau tidak baik karena nanti akan menjadi semakin longgar. Karena nabi sendiri sudah menganjurkan. Pilihlah karena pertimbangan keagamaan itu. Dalam Alquran itu dinamakan satu ikatan yang berat. Kalau tidak diikat dengan dengan agama, ya berat. Apalagi beda agama.

Secara pribadi, Prof setuju tidak nikah beda agama?

Ini di luar hukum ya. Kalau bisa dihindari lah sebaiknya. Ikuti saja pandangan Muhammadiyah, MUI, dan NU. (AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *