Oleh: Sugito R., Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PDM Bojonegoro
Upaya keras kalangan sejumlah pihak untuk meyakinkan kembali kepercayaan publik kepada partai politik sebagai pilar demokrasi serasa menggarami air laut.
Partai politik merupakan entitas yang seharusnya menjembatani kepentingan rakyat dengan pemerintah. Sekaligus memperjuangkan kebijakan yang mencerminkan aspirasi publik.
Namun, dalam praktiknya, partai politik berubah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan dan memperkaya para elitenya.
Kepentingan partai kerap lebih diutamakan daripada prinsip ideologi atau tanggung jawab kepada masyarakat. Praktik ini mengarah pada politik transaksional, di mana keputusan dan kebijakan lebih banyak didasarkan negosiasi dan kompromi antara elite partai daripada mendengarkan suara rakyat.
Ulah penguasa dan elite politik dalam dua pekan terakhir benar-benar meruntuhkan lagi bangunan kepercayaan yang sedang kembali disusun oleh para pencinta demokrasi.
Para elite politik mempertontonkan politik dagang sapi, patgulipat penyanderaan lawan, hingga lebih mendahulukan kepentingan pribadi daripada menjaga marwah demokrasi dan komitmen ideologis.
Semakin sulit meyakinkan generasi milenial dan Z yang sejak awal memang sudah memandang sinis terhadap praktik politik praktis, untuk bisa melihat dengan pandangan jernih tentang keluhuran politik dan demokrasi yang dipilih oleh Indonesia untuk mengelola negara.
Hipokrisi kotor sedang dipertontonkan secara telanjang di hadapan generasi muda, yang sejak awal memang sudah skeptis.
Kita lihat para penguasa secara jemawa menunjukkan pembangkangan konstitusi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Akrobat dan sirkus politik ini bisa memicu merosotnya kepercayaan internasional maupun kepercayaan rakyat kepada pemegang kendali pemerintahan.
Menjadi tanda tanya besar pesan dari Ketum Baru Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, agar tidak main-main dengan ‘Raja Jawa’ jika tidak ingin celaka. Jelas sekali memberikan makna politis bahwa penindasan politik tengah terjadi.
Dia mengibaratkan Raja Jawa adalah penguasa zalim dan sadis, layaknya seseorang yang selalu dia puja yang berlagak bak raja dari Jawa yang telah merusak keagungan dan kewibawaan tradisional masyarakat Jawa. Lalu, siapakah penguasa Jawa yang dimaksud Bahlil tersebut?
Kita tunggu gerakan mahasiswa hari ini. Kalau cuma gertakan flyer di medsos, maka tak terlalu salah jika banyak orang menyebut gaya mahasiswa kini hanyalah anak-anak dari generasi patah yang cuma suka lengket di bangku kafe sembari minta dilayani seluruh kebutuhannya. (*)