8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Opini

Doktrin Syurgawi, Justru Keharmonisan Keluarga Terpecah

Andi Hariyadi, Ketua Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi PDM Surabaya (Andi/KLIKMU.CO)

Oleh: Andi Hariyadi
Ketua Majelis Pustaka Informatika dan Digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya

Menjadikan keluarga sakinah mawaddah adalah harapan kita semua: terwujud keharmonisan, hubungan antarangota keluarga penuh kebahagiaan, ketika ada permasalahan bisa segera dicarikan solusi terbaik tanpa merusak ikatan keluarga. Bersama berupaya meraih surga sehingga istiqamah beribadah, menebar amal saleh, memberikan keteladanan dalam berjuang, menebar kasih sayang, menguatkan keharmonisan keluarga, dan masih banyak hal dari karya kebaikan yang bisa dilakukan, sehingga dengan rahmat-Nya semoga mendapat balasan surga-Nya.

Allah SWT berfirman bahwa surga itu diwariskan kepada orang yang bertakwa (Maryam: 62). Surga diwariskan kepada orang beriman, berserah diri pada-Nya dengan karya terbaiknya (Az-Zukhruf: 69–72); orang yang memelihara amanah dan janjinya serta salat yang akan mewarisi surga (Al-Mu’minun: 7–10); dan masih banyak ayat-ayat lainnya.

Demikian pula di antara hadis Rasulullah Muhammad SAW, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap umatku masuk surga, selain yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan?” Nabi menjawab, “Siapa yang taat kepadaku masuk surga, dan siapa yang membangkang aku berarti ia enggan.” (HR. Bukhari dan Ahmad).

Petunjuk mewarisi surga sudah cukup jelas, ada ketakwaan dan keyakinan, serta diimplementasikan dengan rangkaian kebaikan yang utuh, baik untuk diri sendiri, bersama keluarga, maupun masyarakat sebagai satu kesatuan umat terbaik (Ali Imran: 110), membangun kehidupan yang mencerahkan, membahagiakan, menyejahterakan, dan penuh kemuliaan serta ada rasa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.

Ada sedikit fenomena obsesi meraih surga, di mana ritual ibadah sudah terlihat bagus, dengan menggelar diskusi dan interaksi melalui kajian yang cenderung inklusif. Mereka bergerak tanpa identitas formal keorganisasian, hanya berbalut simbol religiusitas, mengajak dan merekrut sasaran target di lingkungan terdekat, mengefektifkan komunitas emak-emak sebagai upaya penguatan keyakinan dengan doktrin syurgawi semakin menambah mantap mengikatkan diri dalam komunitas eksklusif.

Doktrin syurgawi sebagai media marketing teologis seakan sang target terhipnotis dengan bunga-bunga surga. Daya nalar dan berpikir logis menjadi terkikis, ruang lingkup pandangan hidupnya sangat terbatas: hanya hitam atau putih, sesat atau tidak, hina atau mulia, saudara atau jamaah, keluarga atau berpisah. Kemampuan berpikir untuk lebih selektif berubah menjadi doktrinasi berbagai ajaran, emosinya terus terbuai dengan kenikmatan, keindahan, dan keabadian dalam surga. Doktrin syurgawi sebatas persepsi yang diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, dan yang bukan komunitasnya dianggap kesalahan. Strategi rekrutmen tidak hanya menebar pesona keindahan dan kenikmatan surga, ternyata tahapan doktrin berikutnya mulai meyakinkan pada anggotanya bahwa eksistensi komunitasnya adalah yang paling benar dan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Upaya sosialisasi doktrin dihadapkan kepada keluarga kecilnya untuk mengikuti dan mengajak bersama memenuhi ambisi meraih surga. Terjadilah interaksi dengan dialog yang wawasannya serba hitam-putih, benar-salah, hina-mulia, dan narasi lainnya yang bersifat saling dibenturkan tanpa ada nalar jernih. Proses interaksi doktrin akan sukses bila mendapat anggota baru yang telah direkrut untuk bersama dalam gerakan eksklusif. Dan ada yang gagal memahamkan doktrin meski itu dalam satu keluarga, maka dia lebih memilih bercerai dengan keluarga yang sudah dibangun dengan penuh cinta kasih dan harmonis.

Pilihan bercerai, meninggalkan suami/istri, hingga anak-anak mulai merasakan adanya benturan ideologis dalam rumahnya. Rasa kasih sayang dan perhatian yang selama ini dirasakan telah hilang karena terobsesi meraih surga dalam persepsi sempitnya.

Fenomena obsesi mendapat surga ternyata harus dilalui dengan bercerai, karena itu dianggap pilihan terbaik. Mengharamkan profesi kerja yang selama ini menopang kehidupan keluarga, pendidikan sebagai investasi pencerahan justru dianggap kebodohan dan lebih mementingkan berinteraksi untuk pemenuhan obsesi surga. Keberadaan negara dianggap thagut sehingga melakukan pembangkangan, menjelekkan, dan bisa jadi melakukan makar demi mendapat surga yang dijanjikan.

Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), dengan membidik emosi sehingga terobsesi untuk meraih surga dengan doktrin yang diklaim sebagai kebenaran, terus menyebar, mengajak beberapa orang untuk direkrut dan “dikumpulkan nalarnya” serta siap meninggalkan keluarga untuk pemenuhan obsesinya.

OTB kadang berjamaah bersama kita di masjid atau musala di sekitar kita, namun akan melakukan pembinaan intensif untuk rekrutmen. Di sinilah pentingnya penguatan jamaah baik dari aspek ideologis maupun sosial untuk membangun umat terbaik yang selalu bertindak konstruktif menjauhi destruktif. Dakwah Muhammadiyah senantiasa mengajak pada kebenaran, bukan mengejek menebar permusuhan. Dakwah Muhammadiyah berusaha merangkul, bukan memukul mencederai persaudaraan. Ada banyak lahan dakwah di Muhammadiyah sebagai upaya mewarisi surga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *