10 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita

Dosen Pendidikan: Istilah Marketplace Tidak Menghargai Marwah Guru

Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) M. Isnaini MPd. (Humas/KLIKMU.CO)

Malang, KLIKMU.CO – Istilah marketplace guru akhir-akhir ini menjadi perbincangan di kalangan pendidikan. Fenomena ini menuai pro dan kontra. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mencetuskan ide tersebut sebagai upaya dalam mengatasi masalah tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun.

Menanggapi hal tersebut, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) M. Isnaini MPd mengatakan bahwa secara program, hal ini patut diapresiasi. Menurutnya, program tersebut dapat menjadi jalan pemerataan guru dan mampu mempermudah akses perekrutan guru.

“Secara program, hal ini bukanlah suatu masalah yang signifikan. Meskipun ada plus minusnya, hadirnya program tersebut mampu membuat pemerataan guru di sekolah-sekolah,” ucap pria yang akrab disapa Krisna tersebut.

Meski demikian, Krisna juga mencermati penggunaan istilah “marketplace”. Menurutnya, istilah ini tidak menghargai marwah profesi guru.

Hadirnya istilah ini jangan sampai membuat masyarakat yang tidak paham, menganggap bahwa guru menjadi barang dagangan. Guru yang seharusnya dihormati dan dihargai jasanya malah dianggap rendah dan diremehkan begitu saja akibat pembuatan istilah yang kurang keberterimaannya di masyarakat.

Market itu kan pasar dan place-nya itu penjualan secara online. Jadi terminologi bahasa yang dipakai menurut saya sangat kurang tepat. Jangan sampai orang atau manusia dianggap seperti barang. Marwah guru tentu akan jatuh. Nanti bisa-bisa muncul pertanyaan, guru bisa di-paylater kah? Bisa COD dong?” ucap Krisna.

Ia lalu mengingatkan, di dalam Kemendikbudristek ada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) yang memiliki tugas kontroling penggunaan dan perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia.

Adanya lembaga negara atau BPPB ini seharusnya bisa mengoreksi arau memberi pertimbangan atas penggunaan istilah tersebut. Menurutnya, ketika menteri akan membuat kebijakan, sudah seharusnya ada kajian sebelumnya, termasuk penggunaan istilah bahasa yang menjadi produk kebijakan Kemendikbudristek.

Sebagai dosen bahasa Indonesia, ia juga menyarankan untuk menggunakan istilah-istilah yang ada di bahasa Indonesia. Hal itu lebih menunjukkan kedekatan kepada masyarakat dan lebih dekat dengan budaya dan sosial masyarakat.

“Sebaiknya gunakan isitilah bahasa Indonesia, apalagi ada komitmen pemerintah melalui Kemendikbudristek terkait internasionalisasi bahasa Indonesia sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 44 tentang peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Dengan demikin, rasa cinta bahasa Indonesia terus hidup dan lekat secara sosiokultural,” pungkasnya. (Wildan/AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *