30 April 2025
Surabaya, Indonesia
Berita

Dosen UMM Ungkap Faktor Maraknya Kekerasan Seksual, Pendidikan Karakter Jadi Kunci

Dr Ariana Restian MPd, dosen Program Studi PGSD Universitas Muhammadiyah Malang. (Humas UMM/KLIKMU.CO)

KLIKMU.CO – Kekerasan seksual kini menjadi salah satu isu paling mendesak dalam dunia pendidikan. Mirisnya, tindakan ini tidak hanya terjadi antarsesama pelajar, tetapi juga dilakukan oleh oknum pendidik yang seharusnya menjadi teladan.

Dr Ariana Restian MPd, dosen Program Studi PGSD Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mengungkapkan bahwa maraknya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah relasi kuasa yang tidak seimbang, seperti antara guru dan murid atau senior dan junior, yang menjadi pemicu utama.

Ditambah lagi, kurangnya literasi seksual dan kesadaran gender menyebabkan batasan pribadi sering kali dilanggar. Budaya patriarki dan victim blaming yang melekat membuat korban enggan berbicara karena takut disalahkan. Hal ini menciptakan ketidakadaan ruang aman bagi korban untuk berlindung.

Ariana menyatakan bahwa menciptakan keamanan dalam menimba ilmu di lingkungan pendidikan harus menjadi fokus utama. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti yang telah diterapkan di UMM, yang berkomitmen menjadikan kampus sebagai ruang aman dari kekerasan seksual.

UMM telah mengintegrasikan pendidikan nilai gender dalam mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan), menyediakan ruang pelaporan yang aman dan rahasia, serta memberikan pendampingan bagi korban melalui UPT Bimbingan Konseling. Bahkan, UMM membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

“Langkah-langkah seperti ini bisa diadopsi di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya,” kata Ariana, Selasa (29/4/2025).

Ia melanjutkan bahwa masyarakat di lingkungan pendidikan perlu memiliki kesadaran kolektif untuk merespons kekerasan dengan cepat, tegas, dan berpihak pada korban. Budaya saling menjaga perlu ditanamkan untuk menghapus kebiasaan menghakimi korban. Akses terhadap layanan pendampingan hukum, psikologis, dan konseling juga harus disediakan.

Ariana menekankan bahwa di balik maraknya kasus kekerasan dan ketimpangan relasi sosial, budaya patriarki masih membayangi kehidupan sehari-hari. Ketimpangan kuasa menjadikan suara korban semakin sulit terdengar. Sosialisasi terkait kekerasan seksual selama ini belum berhasil menggugah empati masyarakat dan belum menanamkan nilai-nilai yang hidup di hati.

Ia meyakini, perubahan harus dimulai dari pendidikan karakter yang mengajarkan empati, keberanian untuk berbicara, dan kesadaran diri tentang hak dan batas tubuh sendiri.

Selain itu, pendidikan seksual yang mudah dipahami oleh masyarakat luas sangat penting. Bukan hanya sekadar informasi biologis, tetapi juga pengetahuan tentang fungsi tubuh, batas aman dalam interaksi, serta cara membangun relasi yang sehat dan saling menghormati.

“Harapan kami, kampus-kampus bisa menjadi pelopor dalam menciptakan kampus merdeka yang aman, inklusif, dan beradab. UMM telah menunjukkan hal tersebut. Kampus bukan hanya tempat belajar ilmu, tetapi tempat tumbuhnya manusia yang utuh, cerdas secara intelektual, kuat secara moral, dan luhur dalam adab. Kami berharap ada sinergi antara kebijakan, sistem pendukung, dan budaya kampus yang menolak segala bentuk kekerasan,” tuturnya.

(Wildan/AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *