19 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Umum

DPR Juga Kritik Permendikbudristek 30/2021 tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus. (Dok PAN)

KLIKMU.CO – Permendikbudristek Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi juga mendapatkan kritikan dari anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus. Ia menilai, Permen tersebut mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sebelumnya ditolak masyarakat luas di ranah DPR periode 2014-2019 lalu.

Selain itu, kata dia, dasar hukum dari terbitnya aturan tersebut juga tidak jelas karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada.

“Padahal, Undang-Undang No 12 tahun 2011 pasal 8 ayat 2 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi,” ujar Guspardi dalam keterangan persnya, Senin (8/11/2021).

Guspardi melanjutkan, Permen tersebut melampaui kewenangan yang ada. Terlebih, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini masih membahas tentang  RUU TPKS. Artinya, Permen ini melangkahi undang-undang serta tidak memiliki cantolan yuridis yang jelas dan spesifik.

“Jadi, apa dasar hukum yang menjadi landasan dikeluarkannya kebijakan tersebut,” imbuh Guspardi.

Anggota Badan Legislasi DPR RI itu menambahkan, betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan alias suka sama suka. Begitu pula, lanjut dia, bermunculannya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang kian merebak di masyarakat.

Padahal perilaku seks di luar nikah ataupun LGBT tidaklah dibenarkan dalam norma agama. Tak hanya itu, Permen Nomor 30 Tahun 2021 itu seolah mengesampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus. Pasalnya, cenderung berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satuan tugas (Satgas) di lingkungan kampus.

“Oleh karena bermasalah dari segi yuridis maupun filosofis, beleid  yang ditandatangani Mas Menteri  Nadiem pada 31 Agustus 2021 itu sebaiknya dicabut dan dibatalkan karena berpotensi menjadi masalah dan memantik polemik di tengah masyarakat dalam implementasinya ke depan,” pungkas politikus Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) DPR RI tersebut. (AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *