18 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Dua Sahabat Nabi Berpolitik tanpa Melibatkan Emosi

Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Jika dua sahabat nabi saw yang dijamin masuk surga bertengkar, antum berpihak kepada siapa?

Politik memang soal lain: Amru bin Ash dan Abu Musa Al Asy’ari dua sahabat terkemuka itu adu cerdik di meja runding.

Dalam perundingan itu, Abu Musa Al Asy’ari delegasi Ali ra kalah telak meski memenangi pertempuran yang berlangsung sengit. Amru bin Ash lebih cerdik pengikut Ali yang mati insya Allah Sahid. Pengikut Mu’awiyah yang mati insya Allah juga syahid.

Dua pasukan bertempur dengan kalimat tauhid yang sama, takbir yang sama bahkan niat tegakkan syariat Islam yang juga sama. Semua orang boleh mempersepsi peristiwa itu berdasar informasi dan subjektivitas masing-masing.

Umat Islam terbelah. Saling mengafirkan karena beda pilihan politik. Tak sedikit yang kecewa, marah lantas bikin kelompok sendiri. Awalnya hanya kelompok atau partai politik sebelum kemudian menjamah menjadi politik yang diagamakan: Suni-Syiah adalah produk sengketa politik yang diagamakan.

Hipotesisnya adalah: Politik tak jadi bersih karena agama. Tapi agama sudah pasti tercemar karena urusan politik. Para nabi kecuali Daud as dan Sulaiman as adalah antitesis para penguasa. Tak juga Daud as melawan Raja Jalud. Raja Sulaiman as melawan ratu Balqis. Ibrahim as melawan Namrud. Musa as melawan Fir’aun. Termasuk Yusuf as, Isa as, dan Muhammad saw juga melawan imperium.

Memang agama butuh politik. Tapi jenis politik yang dibutuhkan pasti sangat berbeda. Politik dakwah tentu berbeda dengan dakwah politik. Politik agama tidak berbanding lurus dengan agama politik. Islam politik tak sama dengan politik Islam. Jadi apa formulanya?

Kekuasaan, orde, rezim hingga imperium diidentikkan dengan kepongahan dan keingkaran karena melawan Tuhan. Lantas ada nabi-nabi yang datang mengingatkan, kemudian berperang. Ini memang soal klasik sejak Adam diciptakan.

Tapi bagaimana jika dua muslim bertengkar berebut kekuasaan? Kepada siapa harus berpihak? Seperti berperang di bawah panji tauhid yang sama—takbir yang sama. Al-Quran yang sama dan di bawah bimbingan nabi yang sama pula.

Inilah problem teologis paling rumit. Maka Ibnu Muljam memecah kerumitan itu dengan mengafirkan Ali ra agar ia punya hak dan pembenar untuk membunuh usai shalat Subuh pada bulan Ramadhan.

Selama delapan abad Mu’awiyah ra membangun imperium dan selama delapan abad pengikut Ali ra meratapi kekalahan—di antara keduanya kepada siapa Allah ridha? Wallahu ta’al a’lam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *