KLIKMU CO-
Oleh: Risang Rimbatmaja*
Baru-baru ini seorang kawan mengikuti pertemuan ormas yang membahas kampanye imunisasi di daerah yang kental pengaruh agama. Dia mendapat info alasan utama orang tua enggan mengimunisasi anak tidak terkait kehalalan vaksin. “Masalahnya pengetahuan semata,” ujarnya.
Saya hanya bisa menyampaikan agar berhati-hati mengikuti kesimpulan itu.
Pengalaman menganalisis data sejumlah survei memang menunjukkan masalah kehalalan vaksin sering berada di buncit. Menurut responden, urutan pertama adalah kekhawatiran efek samping. _perceived KIPI_, yang jauh berbeda dengan KIPI versi klinis. Cakupannya > 50% dan berlaku, baik pada lansia, orang dewasa atau orang tua (yang memutuskan vaksinasi anak).
Berikutnya, dengan cakupan 20-40% adalah memandang tidak diperlukan (orang tua melihat tanpa vaksinasi anak sehat-sehat saja) dan pada kelompok lansia, fatalisme atau sikap pasrah.
Masalah halal haram berada di buncit dengan cakupan di bawah 10%.
Awalnya saya percaya 100% hasil survei tapi mencermati dinamika lapangan, cerita sejumlah nakes, kader, dan relawan serta hasil riset kualitatif, kelihatannya survei mengunder-report halal-haram.
Secara individual responden enggan mengangkatnya.
Bisa jadi menghindari kesan sok agamis. Mungkin tak berani karena tahu pemerintah mendukung imunisasi. Saya pilih berpikir positif saja, orang kita baik-baik, enggan membuat ketidaknyamanan.
Sejumlah nakes atau kader yang selama ini berhubungan erat dengan warga menceritakan tidak pernah mendapat komplain ketika mengomunikasikan imunisasi. Rasanya sulit juga membayangkan mereka diprotes warga, apalagi sebagian, bahkan kebanyakan mereka berjilbab.
Kebanyakan komplain justru muncul dari kelompok, khususnya yang tidak berhubungan dekat. Sejumlah sekolah, yang baru didatangi di masa kampanye imunisasi, dilaporkan menolak imunisasi. Ada juga cerita nakes ditolak saat baru mulai mendekati suatu kelompok warga.
Jadi masalah halal haram jarang muncul dalam interaksi individual atau bersama kelompok yang dekat hubungannya. Tapi muncul saat berkomunikasi dengan kelompok yang kurang dekat.
Karena itu, kita mesti berhati-hati menyimpulkan masalah halal haram tidak berlaku. Apalagi pada daerah yang kental pengaruh agama.
Mungkin lebih baik membekali nakes, kader atau relawan dengan sejumlah teknik komunikasi untuk merespon masalah halal-haram, yang indirect dan non-konfrontatif.
Bukan apa-apa. Kalau salah treatment, masalah halal haram bisa merembet cepat kemana-mana dan sulit dipadamkan.
*RR | C4D UNICEF