Endemi Talk #15: Pendekatan Low Cognition untuk Promosi BIAN

0
128
Foto diambil dari dokumen RCCE Kota Surabaya

KLIKMU CO-

oleh: Risang Rimbatmaja*

Sore ini, seorang nakes sebuah kota di Jawa Timur mengirim video pendek. Dia tengah melatih kader-kader Posyandu untuk bersiap promosi BIAN (Bulan Imunisasi Anak Nasional).

Tapi isinya main-main. Ibu-ibu kader berjejer di baris. Saling berpunggungan. Lalu berbalik menunjukkan jurus tertentu. Kemudian pecah tawa-tawa.

_Apa hubungannya dengan imunisasi?_

Pembelajaran macam apa pula yang didapat warga dengan permainan seperti itu?

Mereka yang, tidak sadar, biasa dengan pendekatan _high cognition_ akan terheran-heran. Sementara, video itu adalah aplikasi model intervensi perubahan perilaku _low cognition_.

_High cognition_ itu upaya mengubah sikap dan perilaku dengan _banyak mikir_. Warga belajar konsep-konsep. Mengembangkan kerangka berpikir. Analisis dll. Biasanya banyak terjadi di kampus.

Sebaliknya, pendekatan _low cognition_ menyasar emosi. Luapan kegembiraan, senang, bahagia, atau sebaliknya takut, khawatir. Mikirnya sedikit banget alias seadanya saja. Itu pun tidak pakai konsep-konsep tapi pakai cerita sederhana atau perumpamaan-perumpamaan.

_High cognition_ cocok buat warga yang hobi berpikir, sedang konsen alias penuh atensi, waktu yang tersedia cukup dan komunikatornya pun mesti menguasai ilmunya.

Komunikator _high cognition_ harus menguasai ilmunya. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, gejalanya, cara penularannya. Juga, urusan vaksinasi secara teknis. Kalau tidak, bisa mati kutu.

Contoh _high cognition_ partisipatif: dalam metode _body mapping_, komunikator mengajak warga menandai gambar tubuh dengan bertanya: “Coba tunjukkan di mana saja letak gejala penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi! Ayo, organ mana yang disasar bakteri TB?”

Dia mesti siap saat ada warga bertanya, “Kemarin itu kakak saya didiagnosis TB, tapi TB usus. Bagaimana itu, Kak?”

_Nah, lho!_

Di lain pihak, pendekatan _low cognition_ itu yang penting bergembira. Ketawa-ketiwi sampai menggoncang tubuh. Permainannya boleh tidak nyambung tapi nanti disambung-sambungin.

Contohnya, sehabis permainan komunikator bertanya, “Bagaimana caranya supaya kita menang ya?”

Warga: “Mesti tahu jurus apa yang lawan mau tunjukkan!”

Komunikator: “Betul banget! Kalau kita tahu jurus lawan, maka mudah mengalahkannya. Demikian juga penyakit. Setiap penyakit punya jurus tertentu. Kalau pendekar dalam tubuh kita tahu jurusnya, mudah mengalahkan penyakit itu. Cara untuk mengetahui jurus lawan itu ya dengan imunisasi…” (lalu berlanjutlah bercerita tentang imunisasi).

_Low cognition_ cocok buat kondisi seperti warga tidak hobi berpikir keras, tidak konsen (misalnya saat di Posyandu yang riuh), waktu terbatas, dan komunikatornya juga bukan berlatar belakang kesehatan.

Satu lagi yang tidak kalah penting. _Low cognition_ cocok buat warga yang bersikap negatif. Khawatir efek samping. Menganggap tidak penting. Atau menganggap imunisasi tidak halal.

Kalau langsung diceramahi, mereka bisa terusik dan langsung pasang muka sewot.

Tapi kalau diajak ketawa-ketawa dulu, kayanya tak mungkin wajah-wajah gembira tiba-tiba berubah langsung sewot saat dibujuk imunisasi.

Iya, _kan_?

RR | C4D UNICEF

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini