Excellent with Morality, Unair Tidak Excellent

0
108
Sejumlah sivitas akademika membentangkan poster saat aksi di halaman Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, untuk menolak pencopotan Dekan FK Unair, Kamis (4/7/2024). (ANTARA)

Oleh: Miftahul Muslim, alumnus Unair, sekretaris MPID PDM Surabaya

Pagi ini, ketika duduk menunggu booth pendaftaran murid baru di sekolah, saya tertarik dengan salah satu notifikasi handphone yang tiba-tiba muncul. Notifikasinya berasal dari aplikasi X tentang topik pencopotan Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Unair secara mendadak. Ternyata topik pemberhentian Dekan FK Unair ini sedang menjadi pembicaraan hangat di jagat dunia pendidikan Indonesia.

Pemberhentian Dekan FK Unair ini merupakan kabar yang sangat mengejutkan, terutama datangnya dari universitas yang dulunya menjadi tempat saya belajar. Rasa penasaran membawa saya mencari alasan di balik diambilnya keputusan pemberhentian Dekan FK Unair.

Jawaban yang saya dapatkan dari beberapa artikel pemberitaan media yang saya dapat keputusan pemberhentian ini merupakan dampak dari pernyataan Prof Dr dr Budi Santoso SpOG (K) yang menolak adanya kebijakan dokter asing di Indonesia dari pemerintah.

Kebijakan yang menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi, merupakan solusi guna menyelamatkan sekitar 12 ribu nyawa bayi yang mengalami kelainan jantung. Sebuah solusi yang menurut saya agak ganjil, terutama melihat maraknya perkembangan kemunculan-kemunculan fasilitas pendidikan dokter di Indonesia yang mulai masif.

Fakta itu sesuai dengan data yang dirilis oleh laman Kemendikbudristek yang menyatakan bahwa terdapat 93 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia di mana 18 di antaranya menyelenggarakan studi dokter spesialis.

Kebijakan dokter asing di Indonesia sangat bertolak belakang dengan upaya kerja sama dari Kemenkes dan Kemendikbudristek dalam menghasilkan dokter dan dokter spesialis yang dapat memperkuat layanan kesehatan. Kerja sama yang diwujudkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis Melalui Sistem Kesehatan Akademik/ Academic Health System (AHS).

Mirisnya, SKB itu ditandatangani oleh Budi Gunadi Sadikin sendiri selaku Menteri Kesehatan dan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebuah ironi, bukan?

Penolakan Dokter Asing Tidak Salah

Jika ditelaah dengan pemikiran yang jernih dan adil, pernyataan Prof Dr dr Budi Santoso SpOG(K) yang menolak adanya kebijakan dokter asing di Indonesia adalah benar. Jika memang mau mendatangkan dokter asing lalu untuk apa susah-susah membangun sistem pendidikan dokter yang mumpuni.

Tidak usahlah kiranya membangun fakultas kedokteran dengan segala fasilitasnya yang mahal itu. Tidak usahlah menggembor-gemborkan pendidikan dokter yang merata. Sebuah sistem pendidikan dokter yang disusun dan dirancang begitu sistemis dan mulai hadir di banyak universitas tiba-tiba runtuh begitu saja dengan kebijakan dokter asing. Miris memang jika melihat pejabat publik kita belum bisa berlaku adil sejak dalam pikiran maupun dalam perbuatan.

Pandangan Negatif Masyarakat

Lebih lanjut, pemecatan Dekan FK Unair ini juga memunculkan pandangan negatif dari masyarakat terhadap sebuah institusi perguruan tinggi, dalam hal ini Unair. Institusi perguruan tinggi sekelas Unair bisa dengan mudah memberhentikan seseorang dari jabatannya hanya karena statemennya tidak sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh menteri.

Saya, sebagai alumni Unair, merasa malu dengan munculnya kebijakan pemberhentian ini, apalagi dengan motto yang diangkat Unair, yakni Excellent with Morality. Sebuah kebijakan yang menurut saya sangat tidak excellent dan malah terkesan membungkam sebuah pendapat.

Mungkin hari ini yang diberhentikan karena menyuarakan pendapat adalah dekan fakultas kedokteran, bisa jadi besok hari kita. Bayangkan seorang dekan fakultas kedokteran yang merupakan profesor saja bisa tiba-tiba diberhentikan ketika menyuarakan pendapat, apalagi saya yang hanya seorang guru di sebuah sekolah swasta di Surabaya. Kejadian pemberhentian ini seharusnya menjadi atensi untuk kita semua, agar pemberlakuan keputusan tangan besi dari pemangku kebijakan tidak lagi terulang.

Opini saya ini kemudian bukanlah bentuk ketidaksukaan saya terhadap Unair yang dulunya menjadi tempat saya menimba ilmu. Tetapi opini ini merupakan salah satu bentuk keresahan yang muncul dari rasa cinta saya terhadap institusi pendidikan yang telah mendidik saya menjadi seorang yang terpelajar. Karena saya merupakan seorang terpelajar, opini merupakan hasil dari pemikiran yang jernih dan adil. Sekian, dari saya alumni Unair yang sangat mencintai kampusnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini