Fikih Perubahan Iklim: Pendekatan Ekoteologi untuk Keberlanjutan Alam

0
64
Ramadhani Jaka Samudra, Mahasiswa S-2 Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ramadhani Jaka Samudra

KLIKMU.CO

Perubahan iklim merupakan ancaman nyata bagi kehidupan manusia pada saat ini. Fenomena perubahan iklim terjadi akibat akumulasi kerusakan-kerusakan lingkungan di seluruh dunia dengan tempo waktu bertahun-tahun sehingga kondisi bumi dapat berubah secara signifikan.

Permasalahan tersebut tentunya tidak dapat diselesaikan oleh beberapa pihak saja. Melainkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak. Baik ilmuwan, pelaku industri, maupun pemegang kebijakan, tak terkecuali pemuka agama.

Dampak perubahan iklim tidak sekadar suhu bumi yang semakin panas. Namun juga menimbulkan dampak lainnya. Salah satunya adalah penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya.

Salah satu contoh adanya zoonosis adalah infeksi trypanosoma yang awalnya tidak bersifat patogen bagi manusia menjadi patogen. Hal tersebut, menurut Risqa Novita dalam tulisannya bertajuk Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis Emerging di Indonesia (2019), terjadi karena adanya perubahan iklim sehingga tingkah laku vektor atau agen pembawa penyakit mengalami perubahan juga.

Dalam agama Islam, fikih merupakan pedoman hukum yang mengatur tata cara ibadah umat Islam. Dalam hukum Islam, para ulama mengambil keputusan-keputusan dengan didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah.

Namun, pada era sekarang ini, pengambilan hukum dalam fikih mengalami beberapa tantangan. Karena banyak permasalahan yang tidak terjadi pada zaman nabi. Seperti ketika terjadi Covid-19, MUI dan beberapa ormas Islam seperti Muhammadiyah mengimbau agar shalat berjamaah dilakukan sesuai prokes dan tetap sah. Pengambilan hukum tersebut menggunakan kontekstualisasi terhadap permasalahan yang ada.

Menurut Syamsul Hilal dalan tulisannya, Fiqih dan Permasalahan Kontemporer (2012), fikih kontemporer adalah hukum Islam yang ditetapkan sebagai solusi permasalahan terkini biasanya melalui proses ijtihad para ulama. Perubahan iklim merupakan permasalahan terkini yang perlu dibahas oleh ulama fikih.

Mengingat agama Islam sendiri adalah agama yang rahmatan lil alamin. Selain itu, Allah dalam QS Al Baqarah ayat 30 telah menegaskan bahwa kedudukan manusia di muka bumi ini adalah sebagai khalifah. Maka, sudah seharusnya manusia menjadi penjaga utama bumi, bukan sebagai perusak bumi.

Pada ayat lain, Allah berfirman yang artinya:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Meskipun ayat tersebut turun 14 abad yang lalu, kini telah terbukti bahwa memang manusia adalah makhluk yang memiliki peran besar dalam kerusakan bumi mulai dari aktivitas industri hingga pada skala rumah tangga. Aktivitas industri yang tidak memiliki waste management yang baik berpotensi meningkatkan pencemaran baik di udara, tanah, maupun air. Begitu pun di tingkat rumah tangga, banyak aktivitas tidak ramah lingkungan dapat meningkatkan bahaya perubahan iklim.

Hal ini semakin diperparah dengan maraknya alih fungsi lahan dan industri ekstraktif yang tidak mengedepankan enviromental ethics dan regulasi yang telah ditetapkan. Salah satu zat yang menjadi luaran dari proses industri adalah karbon. Di sisi lain hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon justru dialihfungsikan untuk kepentingan manusia.

Purnobasuki lewat artikelnya bertajuk Pemanfaatan Hutan Mangrove sebagai Penyimpanan Karbon (2012) menyebut salah satu contoh adalah ketika hutan mangrove dialihfungsikan, laju deforestasi semakin meningkat dan berdampak pada kemampuan dalam menyerap karbon. Maka, sebagai salah satu upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim tersebut, para ulama perlu melakukan ijtihad untuk merumuskan panduan agar umat Islam dapat menjadi inisiator dalam menghadapi perubahan iklim.

Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia telah mengawali lahirnya fikih kontemporer di bidang lingkungan seperti fikih air dan fikih agraria. KH M. Ali Yafie sebagai tokoh NU juga telah meletakkan dasar fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah). Maka, bukan hal yang mustahil jika para ulama dapat duduk bersama ilmuwan untuk merumuskan fikih perubahan iklim yang dikaji secara holistik sehingga dapat bermanfaat bagi keberlanjutan alam.

Menurut Agus Purwanto dalam bukunya, Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan (2016), terdapat 800 ayat kauniyah di dalam Al-Qur’an yang membahas mengenai penciptaan manusia dan alam semesta. Namun, para ulama kurang menaruh perhatian pada ayat kauniyah dan cenderung berfokus pada ayat-ayat fikih yang berjumlah 150 ayat.

Oleh karena itu, fikih perubahan iklim memiliki urgensi tinggi karena urusan agama tidak sekadar shalat dan puasa. Lebih dari itu, kita sebagai umat Islam punya tanggung jawab menjaga bumi. Tanggung jawab menjaga bumi adalah bagian dari tanggung jawab dalam beragama. (*)

Ramadhani Jaka Samudra
Mahasiswa S-2 Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini