Haedar Nashir Kenang Buya Syafii Maarif: Orang Besar Tidak Merasa Besar

0
18
Haedar Nashir bersama perupa Jumadi Alfi dalam Pameran dan Diskusi “Berdiang di Perapian Buya Syafii”. (Facebook Haedar Nashir)

Yogyakarta, KLIKMU.CO – Pameran dan Diskusi “Berdiang di Perapian Buya Syafii” digelar untuk mengenang dua tahun kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi membuka langsung acara yang berlangsung di Kiniko Art Building, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Senin (28/5) malam itu.

Haedar menyampaikan, kurang lebih 25 tahun dirinya membersamai Buya Syafii. Tidak hanya ketika buya menjadi ketua umum PP Muhammadiyah (1998-2005) dan Haedar menjadi sekretarisnya, bahkan ketika buya sudah tidak menjabat Haedar Nashir setia menemani Buya Syafii di Suara Muhammadiyah (SM).

Ketika Buya Syafii wafat dua tahun lalu, Haedar memendam rindu yang mendalam terhadap sosok orang tua sekaligus sahabat itu. Karena keinginan untuk senantiasa dekat dengan Buya Syafii, Haedar sampai memesan kavling tanah pemakaman Khusnul Khotimah di Kulonprogo tempat Buya dikebumikan.

“Saya juga kaget beliau (Buya Syafii) sebelum meninggal sudah pesan tanah pemakaman di Khusnul Khotimah di Kulonprogo. Oleh karena itu, setelah buya wafat kemudian saya juga ikut pesan tidak ingin jauh dari buya,” ungkap Haedar.

Dalam acara yang turut dihadiri oleh budayawan, perupa, dan sastrawan nasional tersebut, termasuk Butet Kartaredjasa dan Jumadi Alfi, Haedar mengenang kesederhanaan Buya Syafii. Meski tercatat sejarah sebagai ketua umum PP Muhammadiyah selama tujuh tahun, ketika berobat atau besuk ke RS PKU Muhammadiyah, buya tidak pernah mau diistimewakan.

“Buya adalah sosok yang sederhana dan merasa menjadi orang biasa saja. Jadi, ini hal yang saya belajar betul dari beliau. Biarpun sudah menjadi ketua umum PP, menjadi tokoh bangsa, buya tidak pernah merasa menjadi orang besar,” jelasnya.

“Bahkan ketika di rumah sakit Muhammadiyah, ketika mau nengok seseorang selalu mengikuti prosedur, dan tentu tidak semua satpam tahu kan. Kami selalu dicegat di situ, ditanya macam-macam. Satpam itu tidak tahu kalau beliau ketua umum PP Muhammadiyah,” kenang Haedar.

Haedar Nashir dan budayawan Butet Kartaredjasa melihat lukisan dalam Pameran dan Diskusi “Berdiang di Perapian Buya Syafii”. (Facebook Haedar Nashir)

Bagi Haedar, almarhum Buya Syafii dikenal sebagai sosok pemikir progresif, tetapi selalu menempatkan posisi yang moderat. Buya tidak pernah garang ngejudge sembarangan. Meskipun demikian, di beberapa tulisan terkadang galak.

“Tapi, semua itu dihadapi oleh buya dengan cara biasa,” katanya.

Termasuk saat ada situasi-situasi yang kritis dalam kehidupan kebangsaan, Haedar menjadi saksi utuh ketika dialog itu tidak pernah pada titik yang ekstrem untuk men-judgment keadaan.

”Di situlah juga belajar tentang kearifan yang melintas batas dalam persoalan-persoalan dan menyikapinya,” ungkapnya.

Haedar memandang banyak hal dari sisi-sisi lain dari Buya Syafii yang layak dijadikan contoh. Tidak sekadar dimensi formalitas berpikir tentang progresivitas keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Tentang pemikiran Buya Syafii, Haedar menyebut tidak boleh terpenjara di dalam situ saja, tidak boleh jumud pikir.

“Tugas kita tanpa perlu mengultuskan, sebab beliau juga tidak mau dikultuskan,” tutur Haedar.

Kendati demikian, Haedar mengapresiasi adanya kegiatan seperti ini tanpa perlu pengultusan. Menjaga kedekatan dengan gagasan-gagasan Buya Syafii yang memerlukan dialog dan kesabaran terus-menerus.

“Sebab, saat ini kita sedang berhadapan dengan semrawutnya kehidupan keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal,” tandasnya.

(AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini