21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Umum

Hari Kartini, Dua Putri Zulhas Terbitkan Novel Kisah sang Ayah

Novel “Rantau” karya dua putri Zulkifli Hasan, Fitri Zulya dan Zita Anjani. (PAN.or.id)

KLIKMU.CO – Dua kakak beradik Fitri Zulya dan Zita Anjani melahirkan novel berjudul ”Rantau”. Novel ini merupakan novel kolaborasi pertama keduanya yang terinspirasi dari sosok sang ayah, yang juga politisi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan yang diceritakan sebagai Zun.

Futri Zulya mengisahkan, novel ini bercerita bagaimana perjuangan sosok Zun yang merantau dari kampungnya di Kalianda, Lampung ke Jakarta. Saat merantau Zun sendiri hanya membawa satu ransel, dan bekal sejumlah perhiasan dari sang ibunda.

“Sosok zun berangkat dari kampung halaman bawa ransel satu-satunya dan emas,” ungkap Futri di Gunawarman Jakarta Selatan, Kamis, (21/4) di laman resmi PAN.

Futri menjelaskan, untuk menuliskan novel Rantau ini dibutuhkan waktu lima tahun lamanya. Tidak hanya itu saja, Futri dan Zita diketahui melakukan survei langsung ke Kalianda, Lampung, untuk bertemu dengan orang-orang yang mengenal sosok sang ayah untuk menggali informasi.

“Proses penulisan cukup lama lebih dari 5 tahun. Cerita Zun kepada kami yang kami anggap lebai setelah dalami kita sampai ke Lampung ketemu teman guru dan orang yang berinteraksi dengan Zun. Ketika didalami menarik,” ucap Futri.

“Sampai pas buat novel itu langsung ke kampung halaman dan narsum bener. Kalau bener berati apa yang dijelasin bener,” sambung Zida.

Sementara itu, Fitri menjelaskan alasannya dia kemudian memutuskan untuk menuliskan kisah sang ayahnya lantaran tentang kegigihan sang ayah.

“Kita yang muda semangat ada anak perantau dari kampung belum ada listrik air sumur kalau ke sekolah suka ketemu buaya, dari seperti itu kegigihan dia membuahkan hasil,” lanjut Fitri.

Sementara itu, diungkapkan oleh Zita Anjani dalam menuliskan novel ini, dirinya mendapat bagian untuk menceritakan sosok Zun di masa kecilnya.

“Zun sosok menarik ada fase kecil SD, SMP, dan klimaks zun ketika merantau ke Jakarta di Jakarta ada fasenya sampai ketemu cintanya. Mulai usaha from zero to hero,” ujar Zita.

“Kita yang muda semangat ada anak perantau dari kampung belum ada listrik air sumur kalau ke sekolah suka ketemu buaya, dari seperti itu kegigihan dia membuahkan hasil,” lanjut Fitri.

Sementara itu, diungkapkan oleh Zita Anjani dalam menuliskan novel ini, dirinya mendapat bagian untuk menceritakan sosok Zun di masa kecilnya. “Zun sosok menarik ada fase kecil SD, SMP, dan klimaks zun ketika merantau ke Jakarta di Jakarta ada fasenya sampai ketemu cintanya. Mulai usaha from zero to hero,” ujar Zita.

Lebih lanjut, Zita mengungkap bahwa dalam menceritakan Zun dalam novel ini lebih menekankan pada kisah Zun anak Lampung yang menaklukkan Jakarta. “Kisah Zun anak Lampung menaklukkan jakarta. Bukan kayak cerita pas survei turun ke Lampung ketemu narsum waktu ke kampung zun masih memperhatikan. Proses penulisan ini bukan fiktif tapi nyata,” kata dia.

Melalui novel ini, Futri dan Zida kisah kehidupan sang ayah memberikan banyak makna inspirasi. Mulai dari kegigihan yang menghasilkan. “Pertama kegigihan apapun yang kita kerjain sungguh-sungguh, Zun bukan orang berada ke Jakarta engga bawa apa-apa hanya dititipin emas emaknya. Tapi kegigihannya buahkan hasil,” kata Futri.

“Fighter kalau mau sesuatu harus lakukan itu,” kata Zita. Sementara itu, Zulkifli Hasan mengungkap bahwa awalnya dirinya enggan untuk kisah hidupnya dituangkan dalam novel. Sebab dia merasa masih ada yang lebih berat daripada dia. “Banyak orang lebih susah dari banyak yang lebih berat perjuangannya. Saya lumayan ringan,” ujar dia.

Zulkifli Hasan juga mengungkap mengenai cerita dirinya membawa emas dari sang ibunda. Hal ini terjadi lantaran kala itu sang ayah marah kepadanya karena diam-diam pindah ke SMA. “Saya anak nakal. Dulu ada Pendidikan Guru Agama belajar bahasa Arab bolos main. Kalau pelajaran itu saya bolos godain anak perempuan. Setelah 4 tahun, saya gak tahan ikut Tsanawiyah lulus diem-diem pindah SMA,” kata Zulkifli Hasan.

“Ketika saya pindah bapak saya marah. Sebab bapak saya ingin saya seperti Buya Hamka. Ketika itu ibu saya yang sayang sama anaknya kemudian menyuruh day ke Jawa dibawakan kalung, gelang, cincin dari Banjar dan permadani yang bagus,” jelasnya. (AS, diolah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *