Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Gerak langkah persyarikatan Muhammadiyah kian hari semakin penuh dengan tantangan. Menuju visi, misi, dan tujuannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apa yang dicita-citakan para founding fathers masih jauh dari yang diharapkan.
Sejak beralih estafet kepemimpinan dari KH Ahmad Dahlan diteruskan oleh generasi penerusnya pasang surut pun menjadi bagian dinamika organisasi persyarikatan. Dengan luasnya wilayah Indonesia, untuk menjangkau ke seluruh pelosok negeri membutuhkan energi ekstra. Kalau boleh memuji diripada organisasi, memang gerakan dakwah amar makruf nahi munkar berjalan baik daripada yang lain. Namun, harus disadari titik tolak bukan hanya pada penyampaian lisan melalui tutur kata dan kalimat semata, melainkan diikuti oleh harokatul amal yang tercermin dalam diri dan langkah-langkah aplikasi dan implementasi dalam sebuah karya dan cipta.
Haraokah al amal, identitas yang tampak yang harus ditunjukkan sebagai tanggung jawab intelektual dan moral seorang aktivis persyarikatan. Hanya sayang sekali, dalam aplikasi keseharian di Muhammadiyah keumuman kadang selalu saling mengandalkan satu dengan yang lainnya. Akhirnya tidak ada langkah pasti dan eksekusi, dan apabila berharap ada wujud nyata dari ide dan gagasan yang disampaikan harus dijalankan serba oleh sendiri.
Orang Sunda dalam hal ihwal ini sering dikatakan “pok, prek, prak” (segala sesuatu ketika di ungkapkan sebagai gagasan, namun harus dijalankan olehnya dan bila perlu seluruh kebutuhan raw material pun di penuhinya). Perbuatan tersebut apapun alasannya sesuatu yang salah dalam term organisasi, namun jikalau tidak ada perbuatan yang dimaksud, fakta organisasi tidak ada produktivitas nyata.
Harokah al-amal menjadi trademark gerakan Muhammadiyah, bukti nyata secara kuantitatif banyak institusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Pertanyaannya sejauh mana nilai efek dan vibrasi harokah al amal?
Apakah indikator ketercapaiannya cukup dengan hasil penglihatan visual kasatmata atau cukup mempertontonkan ini dan itu dengan kemasan kata dan kalimat yang membanggakan orang mendengar. Sementara kita hanya bagian yang menikmati sesaat, keterlibatan hanya berhenti pada kerja yang disyaratkan dengan batas minimum. Atau hanya keliling ke sana kemari memberi petuah kata, bukan petuah amal dan karya.
Muhammadiyah eksis nyata hingga akan besar jikalau semua urun rembuk dan guyub bersama bahu-membahu membuat rumusan sederhana, namun langsung eksekusi dengan langkah pasti. Satu abad lebih Muhamamdiyah lahir, harapan besar seluruh pelosok negeri sudah tidak ada yang terlewat sama sekali hingga pulau terluar Indonesia.
Pun sama, seharusnya dengan usia satu abad lebih secara angka baiknya sudah mencengkram semua lini dan sektor kehidupan manusia Indonesia, berharap menembus belahan dunia yang tidak terbatas negara dan bangsa, serta tidak hanya ada simbol bendera organisasi namun mampu melakukan penetrasi harokah al amal bagi negara dan bangsa dimana Muhamamdiyah hadir menancap bendera di sana.
Namun, saat ini kita semua disadarkan ketika ditanya kondisi objektif jumlah kuantitas anggota dan warga Muhammadiyah, mulai anggota resmi kader militan ber-NBM, warga hanya memiliki NBM saja, warga simpatisan, dan masyarakat sikap dan perilakunya berafiliasi pada persyarikatan Muhammadiyah. Sepertinya sulit untuk mengatakan melebihi 10 persen dari populasi penduduk NKRI.
Sebagai contoh saja Jawa Barat dengan penduduk kurang lebih 45 juta jiwa, warga Muhammadiyah sangat yakin jauh dari 10 persen dari total populasi penduduk Jawa Barat. Ketika dalam kajian Muktamar di IBM Bekasi, ditanya oleh ketua umum PP Muhammadiyah terkait hal jumlah, tidak ada satupun yang menjawab jumlah yang pasti. Artinya di situ menjadi catatan kita semua, bahwa masih banyak kelemahan dalam harokah al amal.
Kembali pada jati diri dan identitas persyarikatan Muhammadiyah, sebagai organisasi gerakan Islam yang modernis wasathiyah harus tercermin dalam perbuatan nyata sebagai wujud linearitas keteladanan intelektual dan moral warga persyarikatan Muhammadiyah. Terjadi kekeringan spirit bermuhammadiyah dalam forum pengajian dan kajian, itu pertanda ada yang hilang dari keteladanan.
Pun sama ketika pengajian sangat sepi dari jamaah sebagai bentuk peringatan keras bagi persyarikatan bahwa pasti ada yang hilang di mata jamaah, selain tidak menarik cara dan metode, sangat mungkin keteladanan para pimpinan dan warga persyarikatan tidak terlihat baik, bahkan bisa jadi banyak mengecewakan jamaah. Autokritik dan evaluasi tidak boleh berhenti. Hal itu menjadi wajib kala harokah al amal tidak ada efek baik bagi diri kita dan orang lain. Wallahu ‘alam. (*
Bandung, Oktober 2022