15 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Opini

Haruskah Rumah Ibadah Itu Eksklusif?

Nurbani Yusuf, dosen Universitas Muhammadiyah Malang. (Dok Pribadi)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Di mana saya bisa dapatkan ada gereja buat numpang pipis atau rehat sebentar sekadar air putih atau senyum tipis dikulum meski basa-basi.

Bisakah tunjukkan kepadaku satu gereja saja yang melayani Tuhan selama 24 jam, yang pintunya selalu terbuka, yang bila hendak ketemu Tuhan tidak lewat protokoler?

Berbeda dengan masjid yang terus berbenah menjadi public service, gereja malah sebaliknya, pagarnya makin tinggi dan pintunya digembok rapat. Sementara masjid berbenah menjadi inklusif, gereja malah berbalik tertutup dan eksklusif—hal paradoks saya bilang.

Sementara masjid terus berbenah menjadi terbuka, ramah anak, friendly dan terbuka selama 24 jam melayani bukan saja untuk ibadah fardhu, bahkan terus meluas hingga urusan paling krusial: pipis berikut mandi. Air putih, teh hangat, ngopi, bahkan ruang rehat. Para takmir pun dilatih memiliki keterampilan baru: kursus tersenyum.

Tidak ada barang hilang di masjid, semua menjadi sedekah. Nabi saw mendoakan tidak ketemu kepada yang mencari barang hilang di masjid dan mendoakan bangkrut bagi sesiapa yang berjual beli di masjid. Masjid menjadi ruang terbuka, public service melayani siapa pun tanpa kecuali.

Jadi siapa yang eksklusif? Siapa yang menutup diri dan menjauh dari realitas kehidupan—semakin tinggi pagar ditanam semakin rapat gembok dikunci semakin tinggi pula rasa penasaran untuk merusak.

Dengan alasan keamanan pengurus gereja makin eksklusif menjauh dari ramai—berlindung di bawah ketiak radikal ekstrem menjadi pembenar untuk tidak bercampur dengan khalayak mayoritas, lantas meminta banyak perlindungan dan keistimewaan. Jika terus demikian gampang ditebak apa yang bakal terjadi.

Radikal ekstrem hanya pembenar untuk menagih banyak hal, dan ini merusak tatanan stabilitas, merusak harmoni, melahirkan banyak kecemburuan, toleransi hanya gincu pemanis. Moderasi hanya ilusi sebab gereja tak pernah paham dan hanya menagih kenyamanan sambil menabung kecurigaan sesama pemeluk agama—sungguh menggemaskan.

Bukankah urusan keamanan kita semua sama. Masjid pun tak luput dari tindak kriminal: mulai dari sandal ketukar, kotak amal hilang, hingga imam masjid ditusuk, tapi tidak menjadi alasan untuk menggembok rapat pintu dan jendela masjid, kemudian menjauhi dan mencurigai yang tidak dikenal. Khawatir saja penghuni gereja takut dan lari lintang pukang menerima kehadiran saya karena berjenggot dan bergamis. Hehe

Siapa pelayan Tuhan?
Siapa menjaga rumah Tuhan?
Perlukah rumah Tuhan dijaga?
Jadi pantaskah rumah Tuhan dipagar dan digembok rapat karena alasan keamanan?

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *