Haruskah Struktur di Muhammadiyah Diperbaharui?

0
121
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Berbagai persoalan dalam organisasi tidak luput dalam pandangan visual mata, baik yang muncul dari luar atau sebaliknya dari dalam itu sendiri. Dinamika organisasi yang sehat, di mana dalam gerak laju organisasi senantiasa harus dibarengi dengan sistem organisasi yang modern dan berkemajuan.

Indikator yang paling nampak di antaranya terjadinya proses regenerasi kepemimpinan, kemandirian keuangan, dan juga struktur organisasi saling kontrol dan mengawasi antarlevel pimpinan. Paling tidak tiga indikator tersebut bagi Muhammadiyah sudah menunjukan sebagai organisasi yang cukup sehat, modern, dan berkemajuan.

Hanya untuk struktur organisasi dengan organigram yang dikembangkan masih tersisa tanda tanya bagi warga persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu kadang seperti tidak urgen terhadap eksistensi organisasi, namun ketika ada hal ihwal tertentu sangat memungkinkan menjadi polemik dan mengakibatkan tindakan-tindakan yang sulit diurai.

Bahkan bukan hanya itu, justru membuka peluang berbuat dan bertindak melakukan pelanggaran organisasi, baik itu pelanggaran kode etik atau moral dan pelanggaran konstitusi organisasi. Yang paling tampak dari sekian persoalan internal organisasi Muhammadiyah, sistem pengawasan terhadap pemegang kebijakan pimpinan, baik dari tingkat pusat hingga ranting.

Awal mulanya ketika terdengar celotehan para aktivis persyarikatan Muhammadiyah di Jakarta, sering terlontar kata dan ungkapan istilah “Para Dewa 13”. Kalimat itu saat mendengar dalam obrolan ringan sambil canda tawa, namun karena sesuatu kalimat yang unik sontak nalar intelektual reaktif apabila mendengar istilah yang tidak familier di telinga.

Tanda tanya akhirnya terucap juga, sehingga akhirnya menjadi pokok pembicaraan. Kenapa anggota pimpinan disebut para dewa? Ternyata ketika ada kebijakan taktis dan strategis dalam waktu tertentu yang membutuhkan kecepatan untuk diputuskan yang berhak mengambil keputusan sudah pasti para pimpinan pleno. Baik itu keputusan untuk kepentingan internal organisasi maupun eksternal organisasi.

Keputusan pimpinan pleno produknya sangat sulit untuk dimentahkan, seolah menjadi keputusan para dewa di mana tingkat kebenarannya cenderung mutlak. Sementara secara faktual, sangat memungkinkan kebijakanya salah. Pertanyaannya, siapa yang mengawasi atau mengontrol kebijakan pimpinan? Pimpinan majelis tidak mungkin, apalagi level organisasi di bawahnya sangat tidak mungkin.

Sementara di organisasi NU ada Dewan Syuriah dan organisasi lain ada Dewan Syura atau dikenal dengan istilah lain Majelis Pertimbangan. Peran lembaga tersebut yang mengontrol eksekutif yang menjalankan organisasi secara praktis dan strategis. Apabila ada pelanggaran kode etik dan konstitusi organisasi diperingatkan oleh lembaga tersebut, sementara di persyarikatan Muhammadiyah masih tanda tanya.

Selama bermuhammadiyah memahami organisasi, kadang ada banyak hal yang menjadi tanda tanya yang menggelayut dalam pikiran. Yang paling sering mempertanykan hal ihwal proses kepemimpinan di berbagai level, yaitu dari tingkat pusat hingga ranting. Selain ketaatan warga Muhammadiyah terhadap keputusan keberagamaan, sosial, politik dan aspek kehidupan lainnya boleh dibilang sangat dibebaskan untuk membuat pilihan secara mandiri dari masing-masing individu warga persyarikatan.

Paling banter sanksi sosial dari internal, yaitu di-bully seperti ungkapan sindiran, ketika warga Muhammadiyah berperilaku keagamaan ormas lain dibilang kader masuk dari jendela, karbitan atau kader yang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan saking bebasnya, kader ormas lain dengan cukup modal KTAM leluasa diberikan karpet merah menduduki jabatan-jabatan lumayan strategis di amal usaha, dengan dalih profesionalisme.

Pada akhirnya sering terjadi disharmonis antara eksekutif penyelenggara amal usaha dengan persyarikatan, bahkan kadang prilaku sosialnya terkesan pimpinan persyarikatan secara psikologis seperti menghamba pada eksektif. Padahal, jikalau dilihat pendekatan industri corporate bisnis bahwa persyarikatan Muhammadiyah pemilik saham paling besar, justru mereka pimpinan amal usaha adalah para pekerja yang di bayar.

Lain cerita, dari fakta yang ada tidak sedikit pimpinan menjadi karyawan pada amal usaha, sehingga sering terjadi saling-silang yang ambigu. Ketika harus bersikap tegas memberi peringatan. Di sisi lain dia sendiri terlibat pelanggaran konstitusi organisasi, aspek psikologisnya langsung secara sosial terlemahkan.

Selain banyak hal ihwal lainnya mengenai ketegasan sistem organisasi dalam menempatkan kader pada pimpinan persyarikatan kadang masih ambigu. Untuk seleksi kepemimpinan di organisasi otonom cukup selektif. Idealnya dalam lingkup persyarikatan sebagai induk organisasi harus lebih selektif dari ortom. Karena mereka yang akan membina seluruh instrumen kelengkapan organisasi besar yang terkoordinasi langsung maupun tidak langsung.

Kecerdasan, ketangkasan, keluwesan, integritas moral, jejaring kerja, dan memiliki visi yang melebihi kecepatan cahaya hingga menembus dinding langit. Berharap banyak, momentum muktamar dapat mengubah pola dan sistem organisasi lebih selektif, efektif, dan akseleratif. (*)

Bandung, Oktober 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini