Hidup Bermakna Menurut Islam

0
330
Hidup Bermakna Menurut Islam. (Ilustrasi diambil dari internet)

Oleh: Budi Nurastowo Bintriman

Tulisan ini dirangkum dari tausiah Prof Dr Muhammad Abdul Fattah Santoso pada Pengukuhan PDM-PDA Boyolali 2022-2027

KLIKMU.CO

Area parkir Asrama Haji Donohudan Boyolali nyaris penuh oleh mobil-mobil dengan berbagai jenis dan ukuran. Mobil-mobil yang mengangkut warga Muhammadiyah dan Aisyiyah dari seluruh penjuru Kabupaten Boyolali. Mereka menghadiri acara Pengukuhan Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Boyolali periode 2022-2027.

Acara yang diselenggarakan pada Selasa, 8 Agustus 2023, dimulai pukul 20.20. Hadir pula pada acara tersebut para pejabat dari Forkopimda Kabupaten Boyolali dan Forkopimcam Kecamatan Ngemplak.

Lebih dari itu, hadir pula para Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dan Aisyiyah Provinsi Jawa Tengah. Dan diberitakan ada hadirin perwakilan dari organisasi massa Islam seperti NU, LDII, MTA, dan lain-lain kepengurusan Surakarta dan Boyolali.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, prosesi pengukuhan berjalan lancar dan khidmat. Dengan tulus dan ikhlas, para pimpinan yang dikukuhkan menyatakan siap mengemban amanah berat, namun mulia dengan bersungguh-sungguh, bertanggung jawab, dan bersemangat.

Pada sesi tausiah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah mendelegasikannya kepada Kiai Fattah Santoso. Beliau berprofesi sebagai dosen di FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Di Persyarikatan, secara struktural, beliau dipercaya mengelola Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Periode 2022-2027.

Dalam  tausiahnya, Kiai Fattah membahas perihal makna hidup menurut Islam. Pertama, beliau bertitik tolak dari “tantangan” Al-Qur’an surah Al-Anfal 24. Bahwa hamba Allah atau umat Islam atau warga Muhammadiyah wajib hukumnya memenuhi seruan Allah untuk menyerukan pada kehidupan yang bermakna.

Seruan apakah itu? Seruan untuk memperoleh kehidupan yang bermakna. Karena jika manusia hidup tanpa makna, tak ada bedanya dengan tumbuhan dan binatang. Tumbuhan hidup hanya statis meski pasti butuh makan. Binatang bisa aktif bergerak dengan makan, namun tak bisa berpikir seperti manusia. Dan dengan keistimewaan pikirannya itulah, manusia mesti memenuhi seruan Allah SWT sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surah Maryam 12.

Kedua, dengan pendekatan deduktif, Allah SWT menuntun manusia (dengan analogi relasi Zakariya-Maryam-Yahya) agar “khudzil Kitaba”. Itu adalah bermakna berpedomanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadis : “Taraktu fikum amraini”… dst) jika ingin meraih kehidupan bermakna yang ideal. Itu tercantum dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an surah Maryam 12.

Tentu saja seruan itu konsekuensinya membutuhkan berbagai instrumen. Setidaknya seruan (hidup bermakna)  butuh objek. Siapa objek atau mereka itu? Tentu konteks pembahasan ini tertuju kepada manusia. Dan seruan juga butuh berbagai materi dan metode dalam menyeru. Sehingga tidak sekadar menyeru.

Bagaimana dengan maksud dari materi dan metode menyeru tersebut? Ketiga, dengan rahmat-Nya, Allah SWT berkenan memberi jawabannya lebih menukik. Itu tercantum dalam Al-Qur’an surah Adz-Dzariyat 56. Bahwa untuk hidup bermakna, manusia mesti menyerukan agar tunduk beribadah hanya kepada Allah. Ibadah dalam pengertian luas, sebagaimana yang sudah sama-sama kita pahami.

Tanpa substansi ketundukan atau ibadah hanya kepada Allah, semua atau apa pun yang dimiliki manusia akan menjadi tak berguna sedikit pun. Semua menjadi sia-sia belaka. Manusia bisa jatuh ke derajat “tumbuhan” atau bisa jatuh ke derajat “binatang”.

Pada perkara yang berkaitan dengan seruan hidup bermakna, Allah SWT juga memberi tuntunan agar manusia memegang visi-misi kekhalifahan. Keempat, kandungan itu tersurat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah 30. Khalifah yang mengandung pengertian pengelola alam semesta untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh penduduk bumi, tanpa kecuali.

Peribadahan dan kekhalifahan tersebut di atas menjadi dua poin yang niscaya mesti digenggam erat warga Muhammadiyah didalam kiprahnya dakwah Islam amar makruf nahi mungkar. Kelima, maka Kiai Fattah mengingatkan tentang satu surah pendek favorit KH Ahmad Dahlan yang justru paling lama dikaji, melibihi lamanya mengkaji Al-Qur’an surah Al-Maun, yaitu Al-Qur’an surah Al-‘Ashr.

Setelah pentingnya fondasi keimanan dan amal shaleh, dakwah Islam amar makruf nahi mungkar juga sangat (mutlak) memerlukan amalan saling menasihati dalam kebenaran, dan amalan saling menasihati dalam kesabaran. Dalam kajian ulumul Qur’an, beberapa konsep yang disebut berjejeran dalam satu ayat, maka itu memberi pengertian, bahwa konsep-konsep itu (konsep keimanan, konsep amal shaleh, dan konsep saling menasihati dalam Al-Qur’an surah Al-‘Ashr) adalah sama bobotnya (dalalatul iqtiran).

Pada akhir tausiah, Kiai Fattah melengkapi pembahasan “hidup bermakna” dengan informasi adanya gerakan muta’akhir di Pimpinan Pusat dan di Pimpinan Wilayah. Itu berupa pencanangan parameter hidup bermakna bagi organisasi, yang disebut dengan key performance index (KPI).

Menurut penulis, dalam terminologi Islam, substansi gerakan KPI itu satu semangat dengan makna “ikhsan”. Maka, kader Persyarikatan yang unggul dan berkemajuan (sebagai jargon Muktamar Ke-48) sudah bisa dipastikan, bahwa ia pasti manusia progresif dan ia pasti manusia muhsinun (excellent), insya Allah.

Maka sebagai penutup, Kiai Fattah mengharap kepada seluruh personel pimpinan yang dikukuhkan malam itu, mampu mengemban amanah organisasi dengan prinsip-prinsip “hidup bermakna”. Dan semoga tulisan ini juga bermanfaat dan bermakna. Wallahu a’lam bishshawwab… (*)

Budi Nurastowo Bintriman adalah guru ngaji, pengasuh anak yatim, dan mubaligh akar rumput ber-NBM: 576.926

(Dalam judul, penulis menuliskan gelar Profesor Doktor. Tapi dalam uraian, penulis menyebut Kiai Fattah. Itu karena pada tahun 1986-1991, penulis nyantri kepada beliau di Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran UMS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini