Ibadah dan Muamalah: Sama-Sama Taqarrub Ilallah

0
53
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Kewajiban manusia sebagai makhluk di muka bumi, tiada lain kecuali hanya untuk beribadah. Makna dari ibadah sangat luas, apapun gerak langkah dan kegiatan manusia semua bernilai ibadah. Pertanyaannya, ibadahnya kepada siapa dan untuk siapa? Dan apa manfaatnya beribadah?

Lontaran pertanyaan di atas mudah dijawab, namun butuh perjuangan keras untuk menjalankannya karena saat berhadapan dengan hawa nafsu penggoda dan pengganggu di dalam dada kerap kali menghampiri dan selalu dekat di antara jiwa dan raga. Bisikan keburukan senantisa ada, semakin berusaha keras beribadah, maka semakin keras juga menggodanya.

Begitulah adanya saat manusia berbuat kebajikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang baik sekalipun ada saatnya terpeleset berbuat salah dan hina, apalagi kita lebih banyak dekat dengan keburukan. Bukan lagi terpleset, melainkan kadang jatuh tersungkur masuk dalam jurang kehinaan. Naudzubillahi mindzalik.

Ibadah kewajiban seorang beriman dan berislam manakala meyakini ajaran Islam sebagai keyakinan beragama. Tidak ada pengecualian untuk tidak beribadah selama kita hidup baligh dan berakal. Pemaknaan ibadah identik dengan ritual formal, seperti shalat, zakat, shaum, dan manasik haji.

Padahal pemaknaanya sangat luas, baik itu pendekatan ibadah bersifat vertikal sebagaimana disebutkan jenis ibadahnya di atas dan juga pendekatan ibadah bersifat horizontal yaitu ibadah yang dilakukan melalui perantara perbuatan hubungan antarmanusia untuk saling memenuhi hajat masing-masing. Hal tersebut dikenal lebih familiar dalam khazanah ilmu keislaman disebut muamalah. Term muamalah dipahami sebagai kegiatan ibadah manusia yang titik tekannya lebih kepada aspek kejujuran dan keterbukaan dalam berinteraksi dan bertransaksi manakala saat saling memenuhi kebutuhan masing-masing.

Siapapun kita, di manapun kelahirannya, baik itu dari rahim orang kaya raya atau miskin sekalipun. Bagi Allah SWT tidak ada bedanya, yang membedakan adalah nilai ketaatan dan ibadahnya. Ibadah itu menghamba diri kepada Sang Pencipta Allah SWT tanpa ada harapan material semata, kecuali kihlasan lillahita’ala.

Adapun ada balasan kebaikan, anggap saja hal itu sebuah hadiah sebagai konsekuensi atas ketaatan kita sebagi mahluk ciptaannya. Sebaliknya ketika saat melanggar dan tidak taat, konsekuensinya sama akan mendapatkan balasan apa yang dilakukanya. Allah SWT Maha Adil, mustahil membedakan satu sama lainnya, baik itu perbuatan ibadah vertikal maupun horizontal tetap saja nilai ibadah akan menentukan kualitas ibadahnya masing-masing hamba-Nya. Pernyataan tersebut bukan berarti kita tidak mampu menilai diri, namun saat menilai dirinya sendiri kecenderungan manusia lebih overestimate akan penilaian dirinya.

Menjadi hamba ketika dilahirkan dan hidup di dunia ini semua sudah tersedia berbagai hal ihwal fasilitas untuk bertahan hidup selanjutnya. Manusia di antara makhluk lainnya termasuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki hawa nafsu dan akal sehat, keseimbangan jiwa dan raga yang diberikan Allah SWT telah membuat keistimewaan warna yang mempesona. Manusia diciptakan dalam bentuk yang baik (indah), sangat mungkin ada mahluk lain yang jealous atau syirik akan keberadaan sosok seorang manusia yang berbeda dari mahluk lainnya.

Patut bersyukur bagi manusia akan kesempurnaan yang dimiliki. Bentuk syukurnya tiada lain beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar sesuai ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah Shahihah. Bukan bersumber pada pada hawa nafsu bersifat kapitalistik berorientasi pada kepuasan material semata. Beribadah tiada lain hanya taqarrub kepada Allah SWT, semata-mata berharap mampu menjalankan sepenuh hati, jiwa dan raga tanpa ada harapan balasan material.

Sementara bermuamalah pun bagian penting dalam hidup manusia, karena perbuatan tersebut menjadi kegiatan pokok sehari-hari berinteraksi antarmanusia saling memenuhi kebutuhan satu sama lainnya. Mustahil manusia berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain, karena manusia terbentuk dalam dimensi wujud material dan dimensi ruh spiritual.

Konsekuensi manusia memiliki dimensi wujud material, maka mutlak akan membutuhkan hal-hal bersifat material. Hal tersebut untuk menjaga keberlangsungan jasad biologis sebagai makhluk yang berkembang. Berbagai instrumen pendukung untuk menjaga keberlngsungan hidupnya, baik sandang, pangan dan papan. Kebutuhan tersebut secara faktual tidak didapat dengan sendirinya melainkan ada bantuan orang lain, karena manusia sebagai mahluk tidak sempurna banyak keterbatasan yang dibatasi ruang dan waktu bersifat materi. Sehingga wajib bagi manusia bermuamalah yang baik dan benar.

Bermuamalah manusia hakikatnya sama halnya beribadah kepada Allah SWT sekalipun tidak langsung interaksi secara praktis dalam bentuk ritual yang ketentuanya sakral, seperti halnya ibadah shalat. Bermuamalah sifatnya dinamis dan tidak sakral, karena praktiknya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia baik itu dipengaruhi oleh teknologi atau hal lain yang dapat mempengaruhi sikap dan perbuatan manusia itu sendiri.

Bahkan ada pendapat seseorang, menurut Kalstar ada 3 (tiga) hal yang mempengaruhi sikap dan perbuatan manusia dalam perkembangan teknologi yaitu mobile, cloud dan artificial intelligence. Fakta tersebut benar adanya, di abad postmidernisme membangun paradigma sosial mengubah realitas fisik ke realitas maya, bahkan era digital sangat-sangat dominan mempengaruhi prilaku dan sikap manusia. Dampaknya bermu’malah pun saat ini tidak dalam transaksi realitas fisik lebih dominan transaksi elektronik dunia maya. Begitulah dinamika bermuamalah, praktiknya harus up date perkembangan dan penyelesaian hukum dalam Islam harus juga dinamis sesuai qorinah-qorinah yang mengubah ilat hukum.

Apapun aktifitas muamalah manusia, ternasuk dinamika yang berkembang tetap saja manusia adalah mahluk yang wajib beribadah dan menghamba kepada Allah SWT. Realitas sosial hari ini dan esok yang akan datang kewajiban bermuamalah yang baik dan benar tidak dapat digantikan, hanya ada perubahan bentuk dan pola kerjanya saja. Persoalan tersebut akan menjadi tanggungjawab manusia itu sendiri yang dibahas dalam keilmuan Islam dalam bidang masalah-masalah fiqih (masail fiqhiyah) atau kajian fiqih kontemporer. Praktisnya dalam muamalah, umat muslim harus memiliki kompetensi berinstibath hukum sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah dilengkapi dengan berbagai instrumen untuk menjawab berbagai hal yang terjadi hari ini maupun yang akan terjadi. Hanya umat manusia, khususnya umat muslim senantiasa update ilmu pengetahuan dan teknologi berbagai disiplin ilmu, tidak boleh berhenti selama nafas masih ada. Karena ajaran Islam mewajibkan untuk terus menggali, meneliti, dan memvalidasi berbagai jenis ilmu yang nampak maupun yang belum nampak dipermukaan kehidupan manusia, kecuali jiwa dan raga sudah terpisah kembali lagi atas kehendak Allah SWT. Wallahu’alam. (*)

Bandung, April 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini