KLIKMU CO-
Oleh: Kyai Mahsun Djayadi*
Menurut salah satu riwayat, ketika masih menimba ilmu di Makkah, Pada 1324 H (1906 M), Haji Rasul (Dr. H. Abdul Karim Amrullah) berturut-turut berduka karena istri dan anaknya meninggal dunia. Atas permintaan ayahnya, ia kemudian pulang ke kampung halaman. Ia kemudian diminta menikahi adik almarhumah isterinya yang bernama Syafiah, yang kemudian melahirkan anak diberi nama “Abdul Malik”. di kemudian hari Abdul Malik ini dikenal dengan panggilan Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Tidak berselang lama kemudian Syekh Abdul Karim Amrullah wafat pada 1907.
Dr. H. Abdul Karim Amrullah ternyata adalah seorang yang tidak setuju dengan ajaran tarekat, meskipun ayahnya sendiri adalah seorang Syekh tarekat Naqsyabandiyah. Perbedaan faham antara beliau dengan ayahnya mengenai ajaran tarekat, bukanlah menjadikan beliau, secara pribadi, durhaka dan melecehkan ayahnya. Demikian pula sebaliknya, ayahnya tidak merasa disaingi oleh anaknya sendiri, bahkan ia merasa bangga melihat kedalaman ilmu yang dimiliki anaknya.
Sejak tahun 1911, Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan memimpin pengajian surau Jembatan Besi. Atas usaha dan inisiatif yang dilakukannya, pengajian surau Jembatan Besi ini semakin hari semakin berkembang dan semakin banyak muridnya. Mereka bukan saja datang dari daerah Padang Panjang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah di seluruh pelosok Minangkabau dan bahkan ada yang dari Aceh, Medan, Riau, Palembang, dan Bengkulu.
Dalam memberikan pelajaran, ia masih menggunakan sistem lama, yakni sistem halaqah (murid duduk di lantai beserta guru, serta mereka mengelilingi guru yang memberikan penjelasan mengenai pelajaran). Tetapi, metode yang digunakannya sudah dikembangkan ke arah kebebasan berfikir. Ia memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk mendiskusikan berbagai permasalahan keagamaan yang muncul.
Menurut keterangan HAMKA, ayahandanya Syekh Abdul Karim Amrullah ahli dalam mendidik, bertablig dan menulis. “Tiga hal sangat dipersungguhnya, mengajar muridnya dalam pengetahuan agama cara berdalam-dalam, memberi nasehat kepada orang banyak dengan cara mengaji tablig dan mengarang. Dalam ketiga hal itu nampak keahliannya,” tulisnya.
Pada 1917, Syekh Abdul Karim Amrullah melawat ke Pulau Jawa. Ia bertemu dan berdiskusi antara lain dengan aktivis pergerakan kemerdekaan Abdul Muis, HOS Cokroaminoto dan ketika ke Yogyakarta bertemu dengan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Beliau merasa cocok dengan pemikiran keagamaan KH. Ahmad Dahlan.
Selanjutnya, pada 1918, murid-murid “Inyiak” atau “Inyiak De-Er” (Doktor) Rasul mendirikan perkumpulan bernama “Sumatera Thawalib”. Gerakan ini kemudian diikuti oleh murid-murid Syekh Parabek di Bukittinggi, lalu di Sungayang dan di berbagai tempat di Ranah Minang. Masing-masing perkumpulan juga menerbitkan majalah. Semua kemudian berafiliasi dan bersatu menjadi “Sumatera Thawalib”
Pada tahun 1911-1915 bersama-sama Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, mendirikan majalah Al-Munir di Padang. Majalah ini bertujuan sebagai pemimpin dan memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beriktikat baik dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup supaya sentosa pula mengerjakan seluruh agama. Juga, untuk mempertahankan Islam terhadap segala tuduhan dan salah sangka.
Majalah dua mingguan ini memuat artikel untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya dan sekaligus sebagai pembawa suara kelompok Kaum Muda dalam menyuarakan berbagai pembaharuan dalam rangka perbaikan umat. Kemudian, ia juga menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang bersama Zainuddin Labay el-Yunusi tahun 1918.
Pada tahun 1918, ia bersama-sama Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi, Zainuddin Labay el-Yunusi dan guru-guru lainnya mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) Sumatera.
IBRAH DARI KISAH INI:
Haji Rasul (Dr. H. Abdul Karim Amrullah), seorang ulama intelektual yang sangat dikenal pada zamannya terutama di kawasan Sumatera barat.
Beliau adalah salah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki keahlian dalam ilmu agama Islam dengan wawasan yang luas. Aura intelektualitasnya nampak sejak muda dan dipertajam dengan studinya ke Makkah al-Mukarromah, berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (seorang ulama asal minangkabau yang mukim di Makkah dan imam masjidil haram).
Ada tiga keahlian Haji Rasul pada zamannya yakni sebagai seorang Muballigh, sebagai seorang Pendidik, dan sebagai seorang jurnalis yang handal. Beliau memiliki perbedaan pemahaman dengan sang ayah tentang tasawuf/ tarekat. Meskipun Haji Rasul tidak setuju denga tarekat tetapi tidak mengurangi hormat dan ta’zhim kepada sang Ayah yang dikenal sebagai guru tarekat naqsyabandiyah itu.
Ketika melawat ke Pulau Jawa. Beliau bertemu dan berdiskusi antara lain dengan aktivis pergerakan kemerdekaan Abdul Muis, HOS Cokroaminoto dan ketika ke Yogyakarta bertemu dengan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Beliau merasa cocok dengan pemikiran keagamaan KH. Ahmad Dahlan. Di kemudian hari Beliau mendirikan Muhammadiyah di Sumatera barat.
Wallahu A’lamu bis-shawab.
*Ketua DPD PAN Kota Surabaya