KLIKMU CO-
Oleh: Kyai Mahsun Djayadi*
Hamka pernah menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari Universitas Punjab di Lahore, Pakistan pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir.
Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis.
Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya.
Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan Doktor Honoris Causa.
Pada Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru.
Hamka bersama Mohammad Natsir dan Isa Anshary. Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai Masyumi dengan pemberontakan PRRI. Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman.
Pada 1968, Hamka menghadiri Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokroaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-Israel di Rabat, Maroko.
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia.
Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia dengan paper “Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu”. Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Ali Jinnah.
IBRAH DARI KISAH INI :
Jelas tidak diragukan lagi bagaimana kapasitas dan kapabilitas seorang Buya Hamka baik sebagai Ulama, Sastrawan, maupun penulis yang aktif. Ketika meringkuk di penjara-pun Hamka tetap memanfaatkan menulis tafsir Al-Azhar yang di kemudian hari sangat digemari oleh masyarakat bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Singapura dan Malaysia. Hal ini karena kupasannya berwatak kekinian dan mudah difaham.
Tak kurang Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun berkomentar: Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka telah mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya dengan informasi.
Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer. Penulis Malaysia Muhammad Uthman El Muhammady mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi “mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan”.
Pergaulan Buya Hamka yang luas menjadikannya dikagumi oleh tokoh-tokoh muslim dunia, bahkan kehadirannya di forum-forum internasional merupakan point bagi ketokohannya sebagai Ulama terkemuka setidak tidaknya di kawasan Asia Tenggara.