5 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Ibrah Kehidupan #26: Bilal Bin Rabah

Foto Bilal bin Rabah mengumandangkam adzan diambil dari kisah teladan

KLIKMU.CO

Oleh: Kyai Mahsun Jayadi*

Bilal diangkat derajatnya disisi Allah berkat kesabaran dan kegigihannya mempertahankan kalimah Tauhid, kalimah iman yang amat disayanginya. Dia dilantik menjadi tukang adzan Rasulullah saw , dia mengumandangkan adzannya bergema 5 kali sehari (Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan Isya’) menggema diseluruh penjuru Kota Madinah.

Bilal menyertai semua peperangan dijalan Allah di zaman Nabi Muhammad saw.
Ke-wafat-an Nabi saw, memberikan kesan yang cukup mendalam bagi Bilal, betapa sayangnya Bilal pada Rasulullah saw tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sehingga pasca wafatnya Nabi saw Bilal tidak mampu mengumandangkan adzan lagi, karena ketika bacaan adzan sampai pada kalimat “Muhammad” itu (Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah), hatinya jadi bergetar dan lunglai, air matanya pun akhirnya membasahi pipinya.

Bilal tidak mau lagi mengumandangkan adzan meskipun dibujuk rayu oleh para shahabat. Dia tidak “Mau” karena “tidak mampu” lidahnya mengeluarkan kalimah Muhammad dalam adzan lantaran getarannya meluluh lunglaikan jiwanya.
Pada zaman Khalifah Abu Bakar, Bilal memohon untuk pergi berperang, tetapi tidak diperkenankan oleh Abu Bakar dengan alasan beliau masih memerlukan khidmat Bilal di Madinah.

Mungkin Abu Bakar sudah dapat membaca isi hati Bilal yang sangat merindukan mati syahid untuk bertemu dengan orang yang sangat dicintainya yaitu Nabi Muhammad saw. Ini dimaklumi karena ke-wafat-an Baginda merupakan satu kehilangan yang besar bagi Bilal.

Sekali lagi pada zaman Khalifah Umar, Bilal memohon untuk menyertai angkatan perang islam menghadapi tentara Roma, tak disangka khalifah Umar Ibnul Khattab mengizinkannya untuk ikut berperang . Kesempatan itu digunakan oleh Bilal semaksimal mungkin , beliau telah membawa isterinya turut sama berperang bersama tentara islam sehingga berhasil menaklukkan Baitul-Maqdis. Namun apa yang diharapkan Bilal gugur sebagai syuhada’ tidak dikabulkan Allah. Dia tetap hidup dan tidak gugur sebagai syuhada’.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika Umar bin Khattab mengatakan sesuatu kepada Bilal : Wahai Bilal, apakah kamu kira engkau sendiri yang merasa sedih dengan kehilangan Rasulullah saw? Coba lihat air mataku juga sudah kering kehabisan air mata karena menangis. Jika boleh, saya mau serahkan nyawa saya ini sebagai gantinya” , lalu jawab Bilal:
“Wahai Amirul mukminin, kesedihan saya melebihi kesedihan tuan.Tuan lahir sebagai seorang yang merdeka. sedangkan saya terlahir sebagai seorang budak. Tuan tidak pernah merasakan bagaimana gembiranya seorang budak di saat dimerdekakan. Sesungguhnya Rasulullah saw membebaskan kami dari perbudakan (lewat tangan Abu Bakar Assiddiq). Dia memuliakan saya ketika orang lain menghina saya. Kemudian Rasulullah melantik saya sebagai tukang adzan. Rasulullah juga pernah mengatakan terdengar hentakan sepatu saya di dalam syurga” kata Bilal dengan nada yang sedih dan iba.

Setelah peristiwa itu Bilal berpindah ke Syam , penduduk Syam juga meminta beliau menjadi tukang adzan tetapi Bilal menolak. Akhirnya Bilal membawa isterinya berpindah ke Damsyik setelah penduduk Syam merasa kesal lantaran menolak menjadi mu’adzin. Setelah menetap di Damsyik beberapa lama tibalah saatnya beliau sakit dan akhirnya wafat pada tahun 20 Hijrah / 641 Masehi di Damsyik dan dikebumikan di Damsyik dalam usia 63 tahun .

Ibrah dari Kisah ini:
Ketika seseorang telah bersentuhan dengan kalimat tauhid kemudian diikuti dengan keta’atan yang penuh dalam menjalankan syari’at Islam. Akhirnya memunculkan sebuah “Mahabbah” kecintaan yang tulus kepada Allah swt dan Rasulullah saw.

Bilal bin Rabah adalah salah satu di antara hamba Allah yang memiliki “Mahabbah” yang tinggi kepada Allah swt dan Rasul kesayangannya. Bilal siap jiwa dan raganya mengikuti seluruh peperangan yang dilakukan oleh Nabi saw , Bilal pula yang selalu siap mengumandangkan adzan setiap sholat akan didirikan.

CINTA” bukanlah sekedar retorika atau ucapan manis di lidah, tetapi cinta harus dibuktikan dengan kesetiaan dan memperjuangkan kebenaran. Bukan begiti wahai Kader 1912?

KH. Dr. Mahsun, M.Ag Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya.

*Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *