Ideologi Komunis (PKI) sang Penebar Fitnah

0
103
Ideologi Komunis (PKI) sang Penebar Fitnah. (Ilustrasi dari internet)

Oleh: Andi Hariyadi

KLIKMU.CO

Jika kita menilik sejarah bangsa, ternyata didapatkan fakta bahwa ada kesamaan kepentingan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sama-sama memiliki lawan Syarikat Islam (SI). Senantiasa disebarkan fitnah-fitnah permusuhan, bahwa agama Islam itu diperuntukkan hanya bagi orang Arab dan bukan bagi orang Jawa, Sunda, dan sebagainya.

Kesamaan kepentingan kolonial Belanda untuk melanggengkan cengkeraman penjajahan dan terus melawan kebijakan-kebijakan SI dan menyusup dengan propaganda kebohongan untuk memecah belah SI dan memperlemah sesuai kebijakan politik devide et impera, sekaligus untuk menyebarkan ideologi komunis.

Strategi menebar fitnah kepada para tokoh SI, diantaranya H.O.S. Cokroaminoto, dianggap menggerakkan kebangkitan rakyat melawan kolonial Belanda, melakukan korupsi, tetapi dibantah oleh Soekarno bahwa tuduhan itu tanpa fakta. Hanya fitnah yang kejam kepada sosok pejuang bangsa.

H.O.S. Cokroaminoto pun semakin lantang menyuarakan bahaya ideologi komunis. Bahwa ajaran Islam jauh lebih sempurna daripada ajaran komunis Karl Marx. Dan HOS Cokroaminoto menunjukkan bagaimana ajaran Karl Marx dan Frederick Engels yang menyatakan bahwa agama merupakan candu bagi rakyat, sehingga keberadaan agama harus dilarang dan dilawan.

Sekitar tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 18 September 1948, PKI melakukan pengkhianatan dan pemberontakan di Madiun terhadap Republik Indonesia. Saat itu PKI berusaha berjuang secara politik melalui parlemen dan non-parlemen dengan melakukan demonstrasi, agitasi, dan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap pihak yang memusuhi PKI.

Musso yang baru datang dari Moskow seakan menjadi darah segar perjuangan PKI dan yang memimpin pemberontakan. Pemerintah pun bertindak cepat. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang saat itu sedang sakit menunjuk Kolonel A.H. Nasution sebagai pimpinan operasi penumpasan pemberontakan PKI.

Seluruh kekuatan PKI dapat ditumpas. Musso berhasil ditembak mati, sedangkan Amir Syarifudin dan tokoh lainnya dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Setidaknya 17 tahun setelah pemberontakan PKI di Madiun, tepatnya pada 30 September 1965, PKI kembali melakukan pemberontakan yang kedua, sebagaimana yang terdapat dalam buku Naskah Akademis Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Terkait Peristiwa G30S/PKI 1965 dan Upaya Penyelesaiannya oleh Prof Dr Aminudin Kasdi MS (Unesa), Prof Dr Iwan Gardono Sudjatmiko (UI), Prof Dr Indrianto Seno Adji (UI), dan Prof Djawahir Tanthowi PhD (UII).

Disebutkan pada halaman 88-89, peristiwa makar G30S/PKI merupakan suatu peristiwa bersejarah karena telah terjadi pengkhianatan PKI yang kedua terhadap pemerintah yang sah dan telah mengakibatkan dampak yang tidak terbilang, khususnya enam jenderal pimpinan TNI AD dan seorang perwira pertama di Jakarta dan dua perwira menengah di Yogjakarta.

PKI merupakan partai yang dengan sistematis dan terencana mewujudkan ideologi komunis dan membentuk bangsa yang tidak beragama melalui cara cara kekerasan dalam bentuk revolusi.

Maka, saat 30 September 2023, sebagai bentuk refleksi untuk mengingat kembali dan jangan sampai terulang yang ketiga kalinya, bagaimana kekejaman PKI terhadap rakyat dan bangsa Indonesia. Dan ternyata pada akhir-akhir ini masih ada upaya membalikkan fakta bahwa anggota PKI sebagai korban kekejaman pelanggaran berat HAM, sehingga mereka terus menyuarakan agar pemerintah Indonesia untuk meminta maaf atas kekejaman kepada PKI.

Aspirasi seperti ini cenderung bersifat agitasi dan berpotensi menjadi masalah baru ketika suasana kehidupan berbangsa saat ini relatif kondusif, rukun, dan damai.

Karena itu, marilah kita jaga persatuan, NKRI harga mati tanpa PKI yang berusaha mengubah haluan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pada pasal 29 ayat 1 disebutkan: negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang menjadi prinsip dasar yang mengikat untuk dijadikan pijakan menentukan kebijakan. Sebagai bangsa yang religius dan sudah menjadi kepribadian bangsa. (*)

Andi Hariyadi
Peminat sejarah
Ketua Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini