8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Berita

Idul Fitri di Benua Biru: Hangatnya Lebaran Bersama Komunitas Muslim

Mirza Nuryady SSi MSc. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

KLIKMU.CO – Mirza Nuryady SSi MSc, dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tengah menempuh program doktoralnya di Austria. Selain aktif mengikuti berbagai kegiatan akademik di Institute of Parasitology, Veterinary Medicine University, Vienna, ia juga menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Austria.

Mirza juga membagikan vlog perjalanan dan tantangan yang ia hadapi selama menjalani Ramadan hingga merayakan Lebaran di Benua Biru.

Menjadi bagian dari komunitas minoritas dalam suatu wilayah tentu menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam hal ibadah. Namun, ia mengaku sangat bersyukur bisa bertemu dengan komunitas Muslim Indonesia. Komunitas ini merayakan Ramadan dengan berbagai kegiatan keagamaan di Masjid As-Salam, Vienna.

Masjid ini didirikan oleh diaspora Indonesia yang telah tinggal selama 30–40 tahun di Austria. Menariknya, setiap Selasa dan Jumat mereka mengadakan buka puasa bersama dengan menyajikan hidangan iftar khas Indonesia seperti opor dan semur ayam.

“Alhamdulillah, saya berkesempatan menghabiskan waktu berpuasa Ramadan sekitar 14 jam setiap harinya. Durasi ini tergolong lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 18–20 jam saat musim panas. Hal ini karena Ramadan kali ini bertepatan dengan musim dingin (winter),” katanya.

Sementara itu, hasil ijtihad Komunitas Muslim Austria menetapkan Idul Fitri (1 Syawal 1446 H) jatuh pada hari Minggu, 30 Maret 2025. Ia dan teman-teman merayakan Lebaran bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Vienna yang menyediakan tempat untuk menunaikan salat Id. Setiap tahun, diaspora Indonesia dari berbagai kota berkumpul di KBRI untuk merayakan momen kemenangan ini.

Uniknya, Idul Fitri kali ini bertepatan dengan hari Minggu yang juga merupakan hari libur nasional. Hari tersebut dikenal sebagai “hari tenang”, di mana warga diimbau untuk mengurangi aktivitas di luar rumah dan tidak membuat kebisingan.

Di Austria dan negara-negara Eropa lainnya, baik kumandang azan maupun takbiran dilarang menggunakan pengeras suara ke luar masjid. Kebijakan ini diberlakukan untuk menghormati norma lokal yang berlaku. Hal tersebut merupakan bentuk toleransi dan penghormatan terhadap aturan setempat agar tidak timbul kericuhan maupun hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebagaimana pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Lebih dari itu, ia merasa sangat bersyukur bisa mendapatkan pengalaman berharga dalam perjalanan akademiknya sebagai dosen UMM sekaligus mahasiswa S3 di Austria.

“Saya rasa, indah sekali hidup dalam toleransi dan saling menghargai. Senang sekali rasanya, di kali pertama saya merayakan Lebaran bisa berkumpul bersama merayakan hari kemenangan. Selebihnya saya ucapkan, Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dengan Ramadan di tahun berikutnya. Aamiin,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Mirza menyebut bahwa Lebaran dan Ramadan di Austria menghadirkan nuansa yang berbeda. Meski demikian, ia mengaku banyak Ramadan things yang menjadi ciri khas Indonesia, seperti lantunan azan dan tadarus dari surau serta kehangatan kebersamaan bersama keluarga, menjadi hal yang paling dirindukan.

Selain itu, kuliner khas Indonesia seperti sate Madura, tahu telur, dan gado-gado sulit untuk ia dapatkan. Meskipun ada restoran Asia, cita rasanya tak bisa menggantikan kelezatan kuliner khas tanah air.

(Wildan/AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *